A. Pendahuluan
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) merupakan dua organisasi terbesar di Indonesia yang memiliki massa dalam jumlah puluhan juta orang di berbagai sudut tanah air. Dua organisasi ini telah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka dan mempunyai andil yang besar dalam usaha kemerdekaan negara Indonesia. Selain itu, dari kedua organisasi ini masyarakat Islam di Indonesia menjadi lebih berkembang dan terbina di mana pada waktu itu negara Indonesia masih dalam kungkungan penjajahan Belanda.
Pembahasan mengenai Muhammadiyah dan NU banyak sekali dikupas dalam berbagai macam bahasan yang telah dilakukan banyak orang. Dalam makalah ini kami akan mencoba membahas mengenai keharmonisan Muhammadiyah dan NU dalam perpolitikan keduanya pada masa dulu yakni di masa adanya partai Masyumi. Keharmonisan kedua organisasi dalam partai Masyumi ini dipandang sebagai persatuan umat Islam yang bisa menjadi persatuan dalam bidang lainnya. Dengan demikian, sebenarnya kedua organisasi ini ternyata banyak persamaan dari pada perbedaan yang sebenarnya bersifat dasar atau furu`.

B. Muhammadiyah
1. Sejarah, Faktor dan Tujuan Didirikan Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 M yang bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 H di Yogyakarta. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh kalangan muhammadiyah yang menjadi faktor didirikannya organisasi ini oleh KH. Ahmad Dahlan antara lain:
a. Ia melihat bahwa umat Islam tidak memegang teguh Alquran dan sunah dalam beramal sehingga tahayul dan syirik merajalela, akhlak masyarakat runtuh. Akibatnya, amalan-amalan mereka merupakan campuran antara yang benar dan yang salah.
b. Lembaga-lembaga pendidikan agama yang ada pada waktu itu tidak efisien. Pesantren yang menjadi lembaga pendidikan kalangan bawah pada masa itu dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Pada waktu itu, pendidikan di Indonesia telah terpecah menjadi dua yaitu pendidikan sekular yang dikembangkan oleh Belanda dan pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan agama. Akibatnya, terjadi jurang pemisah yang sangat dalam antara golongan yang mendapat pendidikan sekular dan golongan yang mendapat pendidikan di pesantren.
c. Kemiskinan menimpa rakyat Indonesia terutama umat Islam yang sebagian besar adalah petani dan buruh. Orang kaya hanya mementingkan dirinya sendiri dan bahkan banyak ulama lupa mengingatkan umatnya bahwa Islam mewajibkan zakat bagi si kaya, sehingga hak-hak orang miskin menjadi terabaikan.
d. Aktivitas misi Katolik dan Protestan sudah giat beroperasi sejak awal abad ke-19 dan bahkan sekolah-sekolah misi mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.
e. Kebanyakan umat Islam hidup dalam alam fanatisme sempit, yang bertaklid buta, serta berfikir secara dogmatis. Kehidupan umat Islam masih diwarnai dengan konservatisme, formalisme dan tradisionalisme.
Melihat keadaan umat Islam yang demikian, dan didorong oleh pemahamannya yang mendalam terhadap surat Ali Imran ayat 104, KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaru dan mengajak umat Islam untuk kembali menjalankan syariat sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Pada mulanya, seperti yang dikutip Umar Hasyim dari Gibb dalam bukunya Modern Tren in Islam, Muhammadiyah sesuai dengan perkembangan yang ada pada masa awal kelahirannya melakukan aktivitas-aktivitas sebagai berikut:
a. Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan non-Islam. Hal ini dilakukan dengan mempergiat dan memperdalam dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya, memperteguh iman, menggembirakan (memotivasi dan memasyarakatkan) dan memperkuat ibadah, mempertinggi akhlak, mempergiat dan menggembirakan dakwah Islam serta amar ma`ruf nahi mungkar, serta mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf.
b. Mengadakan reformulasi doktrin-doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern.
c. Mengadakan reformasi ajaran-ajaran dan pendidikan Islam. Pembaharuan Muhammadiyah terlihat dari dua sisi ketika itu yaitu memberikan pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah Belanda dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang berbeda dengan sistem pesantren. Di sekolah ini, di samping pendidikan agama, juga diberikan pendidikan umum, tidak dilakukan pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan.
d. Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan-serangan dari luar. Untuk itu, Muhammadiyah berusaha membentengi para pemuda, wanita, pelajdimaksud di atas, ddiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat.
c. Menempatkan kedudukan perserikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan dakwah amar ma`ruf nahi mungkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di segala bidang kehidupan di negara Indonesia yang berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar (UUD) 1945.
C. Nahdhatul Ulama (NU)
1. Sejarah dan Tujuan Didirikan Nahdhatul Ulama (NU)
Nahdhatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H di Surabaya atas prakarsa KH. Hasyim Asy`ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah. NU berakidah Islam menurut paham ahlus sunah wal jama`ah dan menganut madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi`I dan Hanbali). Asasnya adalah Islam, sedangkan tujuan didirikannya adalah untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan ahlus sunah wal jama`ah dan menganut madzhab empat di tengah-tengah kehidupan di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan pancasila.
NU berdiri berkat perjuangan dan rintisan sejumlah ulama yang memiliki wawasan keagamaan yang sama. Mereka adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Muhammad Hayim `Asy`ari (Tebu Ireng Jombang), KH. Maksum (Lasem), KH. Ridwan (Semarang), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Nahrawi Muchtar (Malang), KH. Ridwan (Surabaya), K. Abdullah Ubaid (Surabaya), KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon), KH. Doro Muntaha (Madiun), KH. Dahlan Abdul Qahar (Madiun), KH. Abdullah Faqih (Gresik). Dua orang pertama yakni KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Muhammad Hayim `Asy`ari (Tebu Ireng Jombang) bertindak sebagai pemrakarsa.
Kelahiran NU tidak lepas dari adanya reaksi terhadap situasi umat Islam pada saat itu. Pada permulaan abad ke-20 umat Islam mengalami kegoncangan akibat kekalahan Turki Usmani pada perang dunia I yang dipandang sebagai kejatuhan dunia Islam. Hal ini terjadi karena kekuasaan sultan Turki sebagai khalifah umat Islam itu telah diakui keberadaannya oleh semua wilayah Islam, termasuk Indonesia. Kegoncangan umat Islam ini diperburuk lagi oleh keputusan Majelis Nasional Agung Turki yang menghapus kekuasaan sultan pada tahun 1922 M dan dihapuskannya jabatan khalifah pada tahun 1924 M di bawah pimpinan penguasa Turki yang baru, Mushtafa Kemal Attaturk madzhab empat di tengah-tengah kehidupan di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan pancasila.
NU berdiri berkat perjuangan dan rintisan sejumlah ulama yang memiliki wawasan keagamaan yang sama. Mereka adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Muhammad Hayim `Asy`ari (Tebu Ireng Jombang), KH. Maksum (Lasem), KH. Ridwan (Semarang), KH. dimaksud di atas, ddiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat.
c. Menempatkan kedudukan perserikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan dakwah amar ma`ruf nahi mungkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di segala bidang kehidupan di negara Indonesia yang berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar (UUD) 1945.
C. Nahdhatul Ulama (NU)
1. Sejarah dan Tujuan Didirikan Nahdhatul Ulama (NU)
Nahdhatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H di Surabaya atas prakarsa KH. Hasyim Asy`ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah. NU berakidah Islam menurut paham ahlus sunah wal jama`ah dan menganut madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi`I dan Hanbali). Asasnya adalah Islam, sedangkan tujuan didirikannya adalah untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan ahlus sunah wal jama`ah dan menganut madzhab empat di tengah-tengah kehidupan di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan pancasila.
NU berdiri berkat perjuangan dan rintisan sejumlah ulama yang memiliki wawasan keagamaan yang sama. Mereka adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Muhammad Hayim `Asy`ari (Tebu Ireng Jombang), KH. Maksum (Lasem), KH. Ridwan (Semarang), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Nahrawi Muchtar (Malang), KH. Ridwan (Surabaya), K. Abdullah Ubaid (Surabaya), KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon), KH. Doro Muntaha (Madiun), KH. Dahlan Abdul Qahar (Madiun), KH. Abdullah Faqih (Gresik). Dua orang pertama yakni KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Muhammad Hayim `Asy`ari (Tebu Ireng Jombang) bertindak sebagai pemrakarsa.
Kelahiran NU tidak lepas dari adanya reaksi terhadap situasi umat Islam pada saat itu. Pada permulaan abad ke-20 umat Islam mengalami kegoncangan akibat kekalahan Turki Usmani pada perang dunia I yang dipandang sebagai kejatuhan dunia Islam. Hal ini terjadi karena kekuasaan sultan Turki sebagai khalifah umat Islam itu telah diakui keberadaannya oleh semua wilayah Islam, termasuk Indonesia. Kegoncangan umat Islam ini diperburuk lagi oleh keputusan Majelis Nasional Agung Turki yang menghapus kekuasaan sultan pada tahun 1922 M dan dihapuskannya jabatan khalifah pada tahun 1924 M di bawah pimpinan penguasa Turki yang baru, Mushtafa Kemal Attaturk madzhab empat di tengah-tengah kehidupan di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan pancasila.
NU berdiri berkat perjuangan dan rintisan sejumlah ulama yang memiliki wawasan keagamaan yang sama. Mereka adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Muhammad Hayim `Asy`ari (Tebu Ireng Jombang), KH. Maksum (Lasem), KH. Ridwan (Semarang), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Nahrawi Muchtar (Malang), KH. Ridwan (Surabaya), K. Abdullah Ubaid (Surabaya), KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon), KH. Doro Muntaha (Madiun), KH. Dahlan Abdul Qahar (Madiun), KH. Abdullah Faqih (Gresik). Dua orang pertama yakni KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Muhammad Hayim `Asy`ari (Tebu Ireng Jombang) bertindak sebagai pemrakarsa.
Kelahiran NU tidak lepas dari adanya reaksi terhadap situasi umat Islam pada saat itu. Pada permulaan abad ke-20 umat Islam mengalami kegoncangan akibat kekalahan Turki Usmani pada perang dunia I yang dipandang sebagai kejatuhan dunia Islam. Hal ini terjadi karena kekuasaan sultan Turki sebagai khalifah umat Islam itu telah diakui keberadaannya oleh semua wilayah Islam, termasuk Indonesia. Kegoncangan umat Islam ini diperburuk lagi oleh keputusan Majelis Nasional Agung Turki yang menghapus kekuasaan sultan pada tahun 1922 M dan dihapuskannya jabatan khalifah pada tahun 1924 M di bawah pimpinan penguasa Turki yang baru, Mushtafa Kemal Attaturk madzhab empat di tengah-tengah kehidupan di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan pancasila.
NU berdiri berkat perjuangan dan rintisan sejumlah ulama yang memiliki wawasan keagamaan yang sama. Mereka adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Muhammad Hayim `Asy`ari (Tebu Ireng Jombang), KH. Maksum (Lasem), KH. Ridwan (Semarang), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Nahrawi Muchtar (Malang), KH. Ridwan (Surabaya), K. Abdullah Ubaid (Surabaya), KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon), KH. Doro Muntaha (Madiun), KH. Dahlan Abdul Qahar (Madiun), KH. Abdullah Faqih (Gresik). Dua orang pertama yakni KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Muhammad Hayim `Asy`ari (Tebu Ireng Jombang) bertindak sebagai pemrakarsa.
Kelahiran NU tidak lepas dari adanya reaksi terhadap situasi umat Islam pada saat itu. Pada permulaan abad ke-20 umat Islam mengalami kegoncangan akibat kekalahan Turki Usmani pada perang dunia I yang dipandang sebagai kejatuhan dunia Islam. Hal ini terjadi karena kekuasaan sultan Turki sebagai khalifah umat Islam itu telah diakui keberadaannya oleh semua wilayah Islam, termasuk Indonesia. Kegoncangan umat Islam ini diperburuk lagi oleh keputusan Majelis Nasional Agung Turki yang menghapus kekuasaan sultan pada tahun 1922 M dan dihapuskannya jabatan khalifah pada tahun 1924 M di bawah pimpinan penguasa Turki yang baru, Mushtafa Kemal Attaturk. Dalam pada itu pengikut gerakan Wahabi di bawah pimpinan Ibnu Su`ud berhasil menguasai wilayah Hedjaz tempat beradanya kedua kota suci yakni Mekah dan Madinah. Gerakan Wahabi ini bertujuan memurnikan paham tauhid umat Islam, telah memusnahkan semua pandangan yang dipandang menimbulkan bid`ah dan khurafat seperti bangunan-bangunan di atas kuburan, makam orang-orang suci dan kiswah (penutup Ka`bah), di samping menentang taklid kepada pendapat imam-imam madzhab dan menyeru untuk kembali kepada Alquran dan sunah. Hal ini menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap umat Islam termasuk umat Islam Indonesia, terutama terhadap para ulama yang kuat berpegang teguh pada tradisi dan melestarikan ajaran bermadzhab.
Sebagai reaksi terhadap penghapusan khalifah pada tahun 1924 M, Mesir memprakarsai diadakannya suatu kongres dengan mengundang wakil-wakil dari umat Islam sedunia termasuk Indonesia. Menanggapi undangan Mesir itu, umat Islam Indonesia mengadakan kongres al-Islam II di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 M. Hasilnya, terbentuk komite khalifah sebagai delegasi yang mewakili Indonesia pada kongres di Mesir. Delegasi terdiri atas Wondoamineso (Sarekat Islam) sebagai ketua dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (Ulama Tradisional) sebagai wakil ketua. Tetapi beberpa bulan kemudian kongres al-Islam III yang diadakan di Surabaya tanggal 24-26 Desember 1924 M mengubah susunan delegasi yang telah ditetapkan sebelumnya menjadi tiga orang yaitu Suryopranoto (Sarekat Islam), H. Fahruddin (Muhammadiyah), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Ulama Tradisional). Karena alasan keamanan, kongres itu tidak jadi diadakan dan delegasi itupun tidak jadi berangkat.
Tidak berapa lama kemudian datang undangan dari Raja Abdul Aziz Ibnu Sa`ud untuk menghadiri kongres di Mekah. Untuk menetapkan susunan delegasi yang akan dikirim, umat Islam Indonesia mengadakan dua kali kongres al-Islam yakni tahun 1925 M dan tahun 1926 M. Kongres memutuskan dua orang sebagai wakil Indonesia yakni H. Oemar Said Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dan KH. Mas Mansur (Muhammadiyah). Dalam kongres tersebut (al-Islam), KH. Abdul Wahab Hasbullah at`s nama para ulama yang yang teguh memegang pendapat madzhab mengemukakan usul-usul untuk dibawa ke dalam kongres Mekah. Usul-usul yang terpenting di antaranya ialah memohon kepada Raja Abdul Aziz Ibnu Sa`ud agar kebiasaan-kebiasaan agama yang telah menjadi tradisi seperti membangun kuburan, membaca doa, dan ajaran madzhab tetap dihormati. Akan tetapi usul tersebut tidak dapat diterima oleh kongres (al-Islam). Karena usul-usul yang diajukannya ditolak, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan beberapa orang pendukungnya menyatakan diri keluar dari kongres dan selanjutnya membentuk suatu komite sendiri yang dinamakan komite Hedjaz. Komite inilah yang merupakatanda kemenangan bagi kalangan muda dan kelompok-kelompok yang menginginkan pluralitas dan kebebasan berpartai. Sebelumnya, dalam pidato radio tanggal 23 Agustus 1945 M berbarengan dengan seruan didirikannya Komite Nasional, Presiden Soekarno menyerukan berdirinya partai tunggal Partai Nasional Indonesia. Suasana revolusi yang memerlukan persatuan merupakan pertimbangannya. Presiden Soekarno menginginkan adanya partai pelopor yang menyatukan keseluruhan kelompok-kelompok. Ide ini segera memperoleh tantangan terutama sekali dari Sultan Syahrir yang menginginkan adanya kebebasan berpartai. Alasannya lewat pembentukan partai-partai politik semua aliran pemikiran yang ada di dalam masyarakat bisa disalurkan dalam kegiatan yang teratur. Soekarno sendiri pada tahun 1926 M mengakui pluralitas aliran pemikiran yang berkembang di dalam masyarakat. Maka ide itu (partai tunggal) pun gagal dan pada tanggal 1 September 1945 M dibubarkan.
Maklumat yang mengisyaratkan kepada warga negara atau kelompok-kelompok untuk membentuk partai politik oleh kelompok Islam disambut secara antusia. Untuk mengikuti seruan itu, pada tanggal 7-8 November 1945 M, diadakanlah Kongres Umat Islam di Yogyakarta. Dalam kongres ini, dibahas kemungkinan dibentuknya partai politik yang akhirnya menjadi kenyataan. Ada dua keputusan penting yang dihasilkan. Pertama, pembentukan partai politik dengan nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Kedua, partai Masyumi menjadi satu-satunya partai politik yang dimiliki oleh umat Islam, tidak ada partai politik Islam yang lain. Keputusan ini disambut baik oleh umat Islam terutama sekali oleh Muhammadiyah dan NU karena Masyumi dipandang sebagai penyatu umat Islam dalam bidang politik yang bisa jadi akan menyatu di bidang-bidang lainnya.
Pada tahun-tahun 1930 M mulai muncul kesadaran akan adanya persatuan di kalangan umat Islam. Perbedaan mengenai khilafah dan furu` pada tahun-tahun 1920-an M mulai mereda, karena disadari hanya akan melemahkan perjuangan umat Islam. Upaya menuju persatuan umat itu banyak datang dari kalangan NU. Hal ini dapat dilihat ketika pada Muktamar ke-12 di Malang tanggal 20-24 Juli 1937 M, NU mengundang tokoh-tokoh pembaharu hadir di arena Muktamar. Berkali-kali KH. Hasyim Asy`ari mengajak umat mengesampingkan pertikaian dan membuang rasa fanatik berlebihan dalam berpendapat. Karena diselimuti rasa persatuan, pada tanggal 18-21 September 1937 M rapatlah 4 orgi jasmani yaitu sikap kepeloporan, kebersamaan, penyesuaian diri terhadap tuntutan zaman, dan kemandirian.
D. Keharmonisan Muhammadiyah dan NU Dalam Partai Masyumi
Berdirinya partai Masyumi erat kaitannya dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah 3 November 1945 M yang ditanda-tangani oleh Wakil Presiden Moh. Hatta. Munculnya maklumat ini sekaligus merupakan pertanda kemenangan bagi kalangan muda dan kelompok-kelompok yang menginginkan pluralitas dan kebebasan berpartai. Sebelumnya, dalam pidato radio tanggal 23 Agustus 1945 M berbarengan dengan seruan didirikannya Komite Nasional, Presiden Soekarno menyerukan berdirinya partai tunggal Partai Nasional Indonesia. Suasana revolusi yang memerlukan persatuan merupakan pertimbangannya. Presiden Soekarno menginginkan adanya partai pelopor yang menyatukan keseluruhan kelompok-kelompok. Ide ini segera memperoleh tantangan terutama sekali dari Sultan Syahrir yang menginginkan adanya kebebasan berpartai. Alasannya lewat pembentukan partai-partai politik semua aliran pemikiran yang ada di dalam masyarakat bisa disalurkan dalam kegiatan yang teratur. Soekarno sendiri pada tahun 1926 M mengakui pluralitas aliran pemikiran yang berkembang di dalam masyarakat. Maka ide itu (partai tunggal) pun gagal dan pada tanggal 1 September 1945 M dibubarkan.
Maklumat yang mengisyaratkan kepada warga negara atau kelompok-kelompok untuk membentuk partai politik oleh kelompok Islam disambut secara antusia. Untuk mengikuti seruan itu, pada tanggal 7-8 November 1945 M, diadakanlah Kongres Umat Islam di Yogyakarta. Dalam kongres ini, dibahas kemungkinan dibentuknya partai politik yang akhirnya menjadi kenyataan. Ada dua keputusan penting yang dihasilkan. Pertama, pembentukan partai politik dengan nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Kedua, partai Masyumi menjadi satu-satunya partai politik yang dimiliki oleh umat Islam, tidak ada partai politik Islam yang lain. Keputusan ini disambut baik oleh umat Islam terutama sekali oleh Muhammadiyah dan NU karena Masyumi dipandang sebagai penyatu umat Islam dalam bidang politik yang bisa jadi akan menyatu di bidang-bidang lainnya.
Pada tahun-tahun 1930 M mulai muncul kesadaran akan adanya persatuan di kalangan umat Islam. Perbedaan mengenai khilafah dan furu` pada tahun-tahun 1920-an M mulai mereda, karena disadari hanya akan melemahkan perjuangan umat Islam. Upaya menuju persatuan umat itu banyak datang dari kalangan NU. Hal ini dapat dilihat ketika pada Muktamar ke-12 di Malang tanggal 20-24 Juli 1937 M, NU mengundang tokoh-tokoh pembaharu hadir di arena Muktamar. Berkali-kali KH. Hasyim Asy`ari mengajak umat mengesampingkan pertikaian dan membuang rasa fanatik berlebihan dalam berpendapat. Karena diselimuti rasa persatuan, pada tanggal 18-21 September 1937 M rapatlah 4 orang tokoh Islam di ponama, dibahas sebuah tulisan yang ditulis oleh seseorang Cina dengan nama samaran Siti Sumandari yang menuduh Nabi sebagai seorang pencemburu. Ia juga mengungkapkan bahwa banyak peraturan Islam yang membenarkan “nafsu” Nabi. Untuk mengatasi persoalan penghinaan terhadap ajaran Islam kemudian dibentuklah Komisi Pemberantasan Penghinaan Islam yang diketuai oleh Zainul Arifin (NU). Pada kongres yang ke-3 tanggal 5-8 Juli 1941 M di Solo, diperbincangkan persoalan-persoalan di luar persoalan agama seperti tentang perubahan tata negara, soal milisi dan soal pemindahan darah (bloedtransfoesi). Mulai terlibatnya MIAI pada persoalan-persoalan politik ini misalnya, ketika MIAI mengadakan kerjasama dengan GAPI (gabungan partai politik sekuler). Bersama GAPI diadakanlah kongres rakyat Indonesia tanggal 23-35 Desember 1939 M di Jakarta. Dalam kongres ini, Belanda dituntut agar menjadikan Indonesia berparlemen.
Setelah jepang berhasil menggantikan Belanda di Indonesia, pada bulan Oktober 1943 M, Jepang membubarkan MIAI (Majelis Islam A`la Indonesia) karena dinilai sebagai gerakan anti Jepang. Karena itu Jepang membentuk Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Anggota pertama Masyumi adalah NU, Muhammadiyah, Perserikatan Ulama Islam, dan Persatuan Umat Islam. Pada tahun-tahun selanjutnya, bertambah dari organisasi lainnya yaitu al-Irsyad, al-Jamiyatul Wasliyah, Persatuikan jawaban dalam wakmbentukan partai politik Masyumi. Bersatunya Muhammadiyah dan NU dalam kancah politik pada masa itu merupakan masa yang dipandang sebagai bersatunya kaum muslimin di bawah satu bendera politik yakni Masyumi. Akan tetapi persatuan ini pun berakhir ketika Nu memutuskan untuk mendirikan partai NU. Dalam waktu-waktu sekarang ini nampaknya antara Muhammadiyah dan NU dalam keadaan harmonis pada saat sekarang ini. Keharmonisan Muhammadiyah dan NU ini dapat dilihat dari beberapa faktor berikut:
a. Terjadinya dialog dan kontak-kontak budaya yang begitu intensif dewasa ini antara Muhammadiyah dan NU yang jarang terjadi pada masa sebelumnya.
b. Munculnya kesadaran baru di kalangan generasi Muhammadiyah dan NU akan adanya plurarisme umat dan paham yang dianutnya.
c. Terjadinya pertukaran pendidikan antara Muhammadiyah dan NU.
d. Sebagai organisasi, Muhammadiyah dan NU tidak lagi menempatkan politik sebagai kepentingan tujuan yang dominan.
e. Pengaruh globalisasi budaya gusulkan hal-hal yang mengenai politik kepada pimpinan partai.
b. Majelis syuro pusat wajib memberi jawab atas pertanyaan-pertanyaan tentang soal-soal yang berkaitan dengan pasal 2, 3, 4 anggaran dasar dan lain-lain yang dikemukakan oleh pimpinan partai.
c. Dalam soal politik yang berkaitan dengan hukum agama, maka pimpinan meminta fatwa dan majelis syuro pusat memberikan jawaban dalam waktu yang dikehendaki.
d. Putusan majelis syuro pusat mengenai hukum agama adalah keputusan yang mengikat pemimpin partai.
e. Jika muktamar (dewan partai) berpendapat lain dari keputusan yang diambil oleh majelis syuro, maka muktamar dapat mengirim utusannya untuk merundingkan putusan tersebut dengan majelis syuro pusat dan hasil perundingan mereka itu merupakan keputusan tertinggi.
Struktur kepemimpin seperti ini oleh para intelektual Masyumi dinilai menghambat gerak langkah partai. Berbagai persoalan, terutama dahulu harus dikonsultasikan kepada majelis syuro. Padahal, partai seharusnya bergerak dengan cepat. Untuk itulah, pada muktamar Masyumi ke-4 tanggal 15-19 Desember 1949 M di Yogyakarta, diusulkan dan kemudian ditetapkan perubahab AD / ART. Di dalamnya mencakup perubahan perubahan fungsi dan tugas majelis syuro. Kalau sebelumnya majelis syuro berkedudukan sebagai dewan tertinggi, dan keputusan-keputusannya mengikat pimpinan partai, maka setelah adanya perubahan ini, fungsinya hanya sebagai penasehat belaka dan tidak memiliki hak veto lagi, nasehatnya pun tidak wajib dilaksanakan.
E. Kesimpulan
Muhammadiyah dan NU selama ini memang sering dipersepsikan sebagai entitas yang berbeda. Persepsi ini tidak salah, hanya saja kurang lengkap. Sebab selain perbedaan, Muhammadiyah dan NU juga memiliki berbagai beragam persamaan seperti yang terjadi pada zaman pembentukan partai politik Masyumi. Bersatunya Muhammadiyah dan NU dalam kancah politik pada masa itu merupakan masa yang dipandang sebagai bersatunya kaum muslimin di bawah satu bendera politik yakni Masyumi. Akan tetapi persatuan ini pun berakhir ketika Nu memutuskan untuk mendirikan partai NU. Dalam waktu-waktu sekarang ini nampaknya antara Muhammadiyah dan NU dalam keadaan harmonis pada saat sekarang ini. Keharmonisan Muhammadiyah dan NU ini dapat dilihat dari beberapa faktor berikut:
a. Terjadinya dialog dan kontak-kontak budaya yang begitu intensif dewasa ini antara Muhammadiyah dan NU yang jarang terjadi pada masa sebelumnya.
b. Munculnya kesadaran baru di kalangan generasi Muhammadiyah dan NU akan adanya plurarisme umat dan paham yang dianutnya.
c. Terjadinya pertukaran pendidikan antara Muhammadiyah dan NU.
d. Sebagai organisasi, Muhammadiyah dan NU tidak lagi menempatkan politik sebagai kepentingan tujuan yang dominan.
e. Pengaruh globalisasi budaya yang tidak saja melampaui bataenai politik kepada pimpinan partai.
b. Majelis syuro pusat wajib memberi jawab atas pertanyaan-pertanyaan tentang soal-soal yang berkaitan dengan pasal 2, 3, 4 anggaran dasar dan lain-lain yang dikemukakan oleh pimpinan partai.
c. Dalam soal politik yang berkaitan dengan hukum agama, maka pimpinan meminta fatwa dan majelis syuro pusat memberikan jawaban dalam waktu yang dikehendaki.
d. Putusan majelis syuro pusat mengenai hukum agama adalah keputusan yang mengikat pemimpin partai.
e. Jika muktamar (dewan partai) berpendapat lain dari keputusan yang diambil oleh majelis syuro, maka muktamar dapat mengirim utusannya untuk merundingkan putusan tersebut dengan majelis syuro pusat dan hasil perundingan mereka itu merupakan keputusan tertinggi.
Struktur kepemimpin seperti ini oleh para intelektual Masyumi dinilai menghambat gerak langkah partai. Berbagai persoalan, terutama dahulu harus dikonsultasikan kepada majelis syuro. Padahal, partai seharusnya bergerak dengan cepat. Untuk itulah, pada muktamar Masyumi ke-4 tanggal 15-19 Desember 1949 M di Yogyakarta, diusulkan dan kemudian ditetapkan perubahab AD / ART. Di dalamnya mencakup perubahan perubahan fungsi dan tugas majelis syuro. Kalau sebelumnya majelis syuro berkedudukan sebagai dewan tertinggi, dan keputusan-keputusannya mengikat pimpinan partai, maka setelah adanya perubahan ini, fungsinya hanya sebagai penasehat belaka dan tidak memiliki hak veto lagi, nasehatnya pun tidak wajib dilaksanakan.
E. Kesimpulan
Muhammadiyah dan NU selama ini memang sering dipersepsikan sebagai entitas yang berbeda. Persepsi ini tidak salah, hanya saja kurang lengkap. Sebab selain perbedaan, Muhammadiyah dan NU juga memiliki berbagai beragam persamaan seperti yang terjadi pada zaman pembentukan partai politik Masyumi. Bersatunya Muhammadiyah dan NU dalam kancah politik pada masa itu merupakan masa yang dipandang sebagai bersatunya kaum muslimin di bawah satu bendera politik yakni Masyumi. Akan tetapi persatuan ini pun berakhir ketika Nu memutuskan untuk mendirikan partai NU. Dalam waktu-waktu sekarang ini nampaknya antara Muhammadiyah dan NU dalam keadaan harmonis pada saat sekarang ini. Keharmonisan Muhammadiyah dan NU ini dapat dilihat dari beberapa faktor berikut:
a. Terjadinya dialog dan kontak-kontak budaya yang begitu intensif dewasa ini antara Muhammadiyah dan NU yang jarang terjadi pada masa sebelumnya.
b. Munculnya kesadaran baru di kalangan generasi Muhammadiyah dan NU akan adanya plurarisme umat dan paham yang dianutnya.
c. Terjadinya pertukaran pendidikan antara Muhammadiyah dan NU.
d. Sebagai organisasi, Muhammadiyah dan NU tidak lagi menempatkan politik sebagai kepentingan tujuan yang dominan.
e. Pengaruh globalisasi budaya yang tidak saja melampaui batas geografis dan kebangsaan akan tetapi melintas batas-batas acuan kepenganutan paham yang dipegangi oleh kelompok jama`ah.
F. Daftar Pustaka
Agama, Departemen. Alquran dan Terjemahannya. Semarang: Tanjung Mas Inti Semarang, 1992.
Alfian. Muhammadiyah (The Political Behavior of a Muslim Modernist Organisation Under Dutch Colonialism). Yogyakarta: UGM Press, 1989.
Al-Asya`ari, Dewi, dkk. Pemberontakan Kaum Muda Muhammadiyah. Cet 1. Yogyakarta: Resis Book, Juni 2005.
Ensiklopedia, Dewan Redaksi. Ensiklopedia Islam. Cet. 4. Jilid 3. Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 1997.
Fiellard, Andre. Islam et Armee Dans L`Indonesie Contemporaine. Terj. Lesmana. Yogyakarta: LKIS, 1999.
Hasyim, Umar. Muhammadiyah Jalan Lurus. Cet 1. Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1990.
Http://www.oocities.com/tarjikh/Manhaj_tarjih/manhaj_ijtihad_umum.htm?201016#ixzz12TPfEmhQ) di akses pada tanggal 12 November 2010.
Http://Www.Tokohindonesia.Com/Ensiklopedi/H/Hasyim-Asyari/Index.Shtml.
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Hasyim_Asy%27arie di akses pada 12 November 2010.
Ida, Laode. NU Muda (Kaum Progressif dan Sekulerisme Baru). Jakarta: Erlangga, 2004.
Ismail, Faisal. Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik. Cet 1. Jakarta: Badan LITBANG DEPAG, Desember 2004.
Kompas, Dewan Redaksi. Muhammadiyah Digugat. Editor: Nur Ahmad dan Pramono UT. Cet 1. Jakarta: Gramedia, Juni 2000.
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. Terj. Gufron A Mas`adi dengan nama Sejarah Sosial Umat Islam. Cet 1. Bagian ketiga. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Malang, UMM. Muhammadiyah NU (Mendayung Ukhuwah di Tengah Perbedaan). Editor: Ma`mun Murod dkk. Cet 1. Malang: UMM Press, Maret 2004.
Marijan, Kacung. Quo Vadis NU (Setelah Kembali ke Khittah 1926). Jakarta: Erlangga, 1992.
Ridwan. Paradigma Politik NU (Relasi Sunni dalam Pemikiran Politik). Cet 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Juni 2004.
Sazali. Muhammadiyah dan Muasyarakat Madani. Cet 1. Jakarta: PS@P Muhammadiyah, Juni 2005.
Syarif Hidayatullah, Tim Penulis IAIN. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Djambatan, 1992.
Wahid, Salahuddin. Menggagas Politik NU. Cet 1. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu (PIS), Februari 2002.
Yunahar, dkk (editor). Muhammadiyah dan NU Reorientasi Wawasan Keislaman. Cet 1. Yogyakarta: Kerjasama LPPI UMY, LAKPESDAM NU dan PP al-Muhsin Yogyakarta, November 1993.
Zahroh, Ahmad. Tradisi Intelektual NU (Lajnah Bahtsul Masa`il 1926-1999). Cet 1. Yogyakarta: LKIS, Oktober 2004.

Tentang NU dan Muhammadiyah

Posted on

Saturday, December 8, 2012