05/01/2008 - 06/01/2008

Kata atau ayat[1] adalah suatu unit dari suatu bahasa yang mengandung arti dan terdiri dari satu atau lebih morfem. Umumnya kata terdiri dari satu akar kata tanpa atau dengan beberapa afiks. Gabungan kata-kata dapat membentuk frasa, klausa, atau kalimat.

Etimologi

Kata "kata" dalam bahasa Melayu dan Indonesia diambil dari bahasa Sansekerta kathā. Dalam bahasa Sansekerta kathā sebenarnya artinya adalah "konversasi", "bahasa", "cerita" atau "dongeng"[2]. Dalam bahasa Melayu dan Indonesia terjadi penyempitan arti semantis menjadi "kata".

Masalah pendefinisian

Istilah "kata" sungguh sulit untuk didefinisikan. Di dalam artikel ini dicoba untuk menjelaskan konsep ini dengan menyajikan tiga definisi yang berbeda: definisi menurut KBBI, tata bahasa baku bahasa Indonesia dan definisi yang umum diberikan di Dunia Barat.

Definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (1997) memberikan beberapa definisi mengenai kata:

  1. Elemen terkecil dalam sebuah bahasa yang diucapkan atau dituliskan dan merupakan realisasi kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa
  2. konversasi, bahasa
  3. Morfem atau kombinasi beberapa morfem yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas
  4. Unit bahasa yang dapat berdiri sendiri dan terdiri dari satu morfem (contoh kata) atau beberapa morfem gabungan (contoh perkataan)

Definisi pertama KBBI bisa diartikan sebagai leksem yang bisa menjadi lema atau entri sebuah kamus. Lalu definisi kedua mirip dengan salah satu arti sesungguhnya kathā dalam bahasa Sansekerta. Kemudian definisi ketiga dan keempat bisa diartikan sebagai sebuah morfem atau gabungan morfem.

Kategorisasi kata dalam tata bahasa baku bahasa Indonesia

Berdasarkan bentuknya, kata bisa digolongkan menjadi empat: kata dasar, kata turunan, kata ulang, dan kata majemuk. Kata dasar adalah kata yang merupakan dasar pembentukan kata turunan atau kata berimbuhan. Perubahan pada kata turunan disebabkan karena adanya afiksprefiks atau awalan), tengah (infiks atau sisipan), maupun akhir (sufiks atau akhiran) kata. Kata ulang adalah kata dasar atau bentuk dasar yang mengalami perulangan baik seluruh maupun sebagian sedangkan kata majemuk adalah gabungan beberapa kata dasar yang berbeda membentuk suatu arti baru. atau imbuhan baik di awal (

Dalam tata bahasa baku bahasa Indonesia, kelas kata terbagi menjadi tujuh kategori, yaitu:

  1. Nomina (kata benda); nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan, misalnya buku, kuda.
  2. Verba (kata kerja); kata yang menyatakan suatu tindakan atau pengertian dinamis, misalnya baca, lari.
  3. Adjektiva (kata sifat); kata yang menjelaskan kata benda, misalnya keras, cepat.
  4. Adverbia (kata keterangan); kata yang memberikan keterangan pada kata yang bukan kata benda, misalnya sekarang, agak.
  5. Pronomina (kata ganti); kata pengganti kata benda, misalnya ia, itu.
  6. Numeralia (kata bilangan); kata yang menyatakan jumlah benda atau hal atau menunjukkan urutannya dalam suatu deretan, misalnya satu, kedua.
  7. Kata tugas adalah jenis kata di luar kata-kata di atas yang berdasarkan peranannya dapat dibagi menjadi lima subkelompok: preposisi (kata depan), konjungsi (kata sambung), artikula (kata sandang), interjeksi (kata seru), dan partikel.


Catatan kaki

  1. ^ Istilah yang dipergunakan di Malaysia.
  2. ^ Lema kathā di kamus bahasa Sansekerta-Inggris oleh Monier-Williams (1899)

Rujukan

  1. Alwi, H.; Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M. Moeliono (1998). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
  2. (1990) Ensiklopedi Nasional Indonesia (ENI), Jilid 8, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, hlm. 217-218.
  3. (1997) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  4. Monier-Williams, Monier (1899). Sanskrit-English Dictionary.


KATA

Posted on

Tuesday, May 20, 2008

Kalimat adalah gabungan dari dua buah kata atau lebih yang menghasilkan suatu pengertian dan pola intonasi akhir. Kalimat dapat dibagi-bagi lagi berdasarkan jenis dan fungsinya yang akan dijelaskan pada bagian lain. Contohnya seperti kalimat lengkap, kalimat tidak lengkap, kalimat pasif, kalimat perintah, kalimat majemuk, dan lain sebagainya.

Berikut ini adalah contoh kalimat secara umum :

- Joy Tobing adalah pemenang lomba Indonesian Idol yang pertama.
- Pergi!
- Bang Napi dihadiahi timah panas oleh polisi yang mabok minuman keras itu.
- The Samsons sedang konser tunggal di pinggir pantai ancol yang sejuk dan indah.

Setiap kalimat memiliki unsur penyusun kalimat. Gabungan dari unsur-unsur kalimat akan membentuk kalimat yang mengandung arti. Unsur-unsur inti kalimat antara lain SPOK :
- Subjek / Subyek (S)
- Predikat (P)
- Objek / Obyek (O)
- Keterangan (K)

Kalimat lengkap dan tidak lengkap

1. Kalimat Lengkap
Kalimat lengkap adalah kalimat yang setidaknya terdiri dari gabungan minimal satu buah subyek dan satu buah predikat. Kalimat Majas termasuk ke dalam kalimat lengkap. Contoh kalimat Lengkap :
- Presiden SBY (S) membeli (P) buku gambar (O)
- Si Jarwo (S) Pergi (P)
- PKI (S) digagalkan (P) TNI (O)

2. Kalimat Tidak Lengkap
Kalimat tidak lengkap adalah kamilat yang tidak sempurna karena hanya memiliki sabyek saja, predikat saja, objek saja atau keterangan saja. Kalimat tidak lengkap dapat berupa semboyan, salam, perintah, pertanyaan, ajakan, jawaban, seruan, larangan, sapaan dan kekaguman. Contoh kalimat tak lengkap :
- Selamat sore
- Silakan Masuk!
- Kapan menikah?
- Hei, Kawan...

Kalimat Aktif dan pasif

1. Kalimat Aktif
Kalimat Aktif adalah kalimat di mana subyeknya melakukan suatu perbuatan atau aktifitas. Kalimat aktif biasanya diawali oleh awalan me- atau ber- dibagi menjadi dua macam :
a. Kalimat aktif transitif adalah kalimat yang memiliki obyek penderita
- Ayah membeli daging
- Kadir merayu gadis desa
- Bang Jajang bertemu Juminten
b. Kalimat aktif intransitif adalah kalimat yang tidak memiliki obyek penderita
- Adik menangis
- Umar berantem
- Sejak dahulu kala Junaidi merenung di dalam tempat persembunyiannya di Batu Malang

2. Kalimat Pasif
Kalimat pasif adalah kalimat yang subyeknya dikenai suatu perbuatan atau aktifitas. Kalimat pasif biasanya diawali oleh awalan ter- atau di-
- Pak Lurah dimintai pertanggung jawaban oleh Pak Camat
- Ayam dipukul Kucing
- Bunga anggrek hitam itu terinjak si lay

Mengubah dari Aktif ke Pasif dan dari Pasif ke Aktif

Untuk mengubah kalimat aktif menjadi kalimat pasif dan juga sebaliknya dapat dilakukan langkah-langkah mudah berikut ini :

1. Mengubah awalan pada Predikat
Yaitu menukar awalan me- atau ber- dengan di- atau ter- dan begitu sebaliknya.

2. Menukar Subyek dengan Obyek dan sebaliknya
Menukar kata benda yang tadinya menjadi obyek menjadi subyek dan begitu sebaliknya.

Contoh :
Ibu memasak sayur => Sayur dimasak oleh ibu.
Joni berkawan dengan Ariel => Ariel dikawani Joni


Paragraf adalah suatu bagian dari bab pada sebuah karangan atau karya ilmiah yang mana cara penulisannya harus dimulai dengan baris baru. Paragraf dikenal juga dengan nama lain alinea. Paragraf dibuat dengan membuat kata pertama pada baris pertama masuk ke dalam (geser ke sebelah kanan) beberapa ketukan atau spasi. Demikian pula dengan paragraf berikutnya mengikuti penyajian seperti paragraf pertama.

- Syarat sebuah paragraf
Di setiap paragraf harus memuat dua bagian penting, yakni :
1. Kalimat Pokok
Biasanya diletakkan pada awal paragraf, tetapi bisa juga diletakkan pada bagian tengah maupun akhir paragraf. Kalimat pokok adalah kalimat yang inti dari ide atau gagasan dari sebuah paragraf. Biasanya berisi suatu pernyataan yang nantinya akan dijelaskan lebih lanjut oleh kalimat lainnya dalam bentuk kalimat penjelas.
2. Kalimat Penjelas
Kalimat penjelas adalah kalimat yang memberikan penjelasan tambahan atau detail rincian dari kalimat pokok suatu paragraf.

- Bagian-Bagian Suatu Paragraf yang Baik
A. Terdapat ide atau gagasan yang menarik dan diperlukan untuk merangkai keseluruhan tulisan.
B. Kalimat yang satu dengan yang lain saling berkaitan dan berhubungan dengan wajar.

Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) adalah ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 1972. Ejaan ini menggantikan ejaan sebelumnya, Ejaan Republik.

Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama telah ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia pada masa itu, Tun Hussien Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut mengandung persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua negara tentang Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan. Pada tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan Keputusan Presiden No. 57, Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan Latin (Rumi dalam istilah bahasa Melayu Malaysia) bagi bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Di Malaysia ejaan baru bersama ini dirujuk sebagai Ejaan Rumi Bersama (ERB).

Ejaan ini masih tetap digunakan hingga saat ini. EYD adalah rangkaian aturan yang wajib digunakan dan ditaati dalam tulisan bahasa indonesia resmi. EYD mencakup penggunaan dalam 12 hal, yaitu penggunaan huruf besar (kapital), tanda koma, tanda titik, tanda seru, tanda hubung, tanda titik koma, tanda tanya, tanda petik, tanda titik dua, tanda kurung, tanda elipsis, dan tanda garis miring.

Penggunaan Huruf Besar atau Huruf Kapital
a. Huruf pertama kata ganti "Anda"
- Ke mana Anda mau pergi Bang Toyib?
- Saya sudah menyerahkan uang itu kepada Anda setahun yang lalu untuk dibelikan PS3.
b. Huruf pertama pada awal kalimat.
- Ayam kampus itu sudah ditertibkan oleh aparat pada malam jumat kliwon kemarin.
- Anak itu memang kurang ajar.
- Sinetron picisan itu sangat laku dan ditonton oleh jutaan pemirsanya sedunia.
c. Huruf pertama unsur nama orang
- Yusuf Bin Sanusi
- Albert Mangapin Sidabutar
- Slamet Warjoni Jaya Negara
d. Huruf pertama untuk penamaan geografi
- Bunderan Senayan
- Jalan Kramat Sentiong
- Sungai Ciliwung
e. Huruf pertama petikan langsung
- Pak kumis bertanya, "Siapa yang mencuri jambu klutuk di kebunku?"
- Si panjul menjawab, "Aku tidak Mencuri jambu klutuk, tetapi yang kucuri adalah jambu monyet".
- "Ngemeng aja lu", kata si Ucup kepada kawannya si Maskur.
f. Huruf pertama nama jabatan atau pangkat yang diikuti nama orang atau instansi.
- Camat Pesanggrahan
- Profesor Zainudin Zidane Aliudin
- Sekretaris Jendral Departemen Pendidikan Nasional
g. Huruf Pertama pada nama Negara, Pemerintahan, Lembaga Negara, juga Dokumen (kecuali kata dan).
- Mahkamah Internasional
- Republik Rakyat Cina
- Badan Pengembang Ekspor Nasional

Perbedaan-perbedaan antara EYD dan ejaan sebelumnya adalah:

  • 'tj' menjadi 'c' : tjutji → cuci
  • 'dj' menjadi 'j' : djarak → jarak
  • 'j' menjadi 'y' : sajang → sayang
  • 'nj' menjadi 'ny' : njamuk → nyamuk
  • 'sj' menjadi 'sy' : sjarat → syarat
  • 'ch' menjadi 'kh' : achir → akhir

EYD

Sekiranya sila kelima Pancasila "Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" berhasil dibawa turun ke bumi Nusantara,
rasanya tidak akan sebanyak ini darah anak bangsa harus tertumpah. Tragedi Poso
hanyalah salah satu ranting di pohon republik yang semakin mengalami kerapuhan
moral-kultural, terutama yang berlangsung sejak 1998. Persis bersamaan dengan
tahun mulai bergulirnya era reformasi yang telah menumbangkan pohon otoritarian
yang sebelumnya membunuh kemerdekaan warga selama sekian dasawarsa.
Sayang sekali, era reformasi gagal melakukan
konsolidasi kekuatan utamanya. Akibatnya, kongsi politik para elite hanya
seumur jagung. Egoisme dan sempit dada politisi adalah faktor penyebab
utamanya, sebuah warisan yang belum juga menghilang sejak masa pergerakan
nasional awal abad ke-20.
Darah anak bangsa tidak saja tumpah di Poso, melainkan juga di Sampit, Ambon,
dan Papua dalam rentang waktu hampir bersamaan. Jauh sebelum itu, perang
saudara juga telah melukai tubuh dan jiwa bangsa ini oleh berbagai sebab. Salah
satu penyebab utamanya adalah putusnya komunikasi di antara elite bangsa yang
tidak jarang sangat naif dalam pendekatan politiknya, baik pihak Jalarta maupun
pihak atau daerah yang melawan. Pemberontakan PKI di Madiun, DI/TII, RMS,
PRRI/Permesta, percobaan kudeta PKI 1965 dan reaksi keras terhadapnya, tragedi
Aceh, dan konflik-konflik lain dalam skala kecil, semuanya tidak saja
menumpahkan darah dalam jumlah ribuan, melainkan juga mewariskan dendam sejarah
yang sia-sia.
Saya sudah sampai pada kesimpulan bahwa penyebab utamanya adalah
ketidakpedulian elite politik terhadap sila kelima Pancasila khususnya dan terhadap
nilai-nilai Pancasila pada umumnya. Akibat ketidakpedulian ini, maka sila kedua
"Kemanusiaan yang adil dan beradab" telah diubah menjadi perilaku
"anti-kemanusiaan dan biadab".
Yang ajaib adalah kenyataan bahwa Pancasila masih saja dimuliakan dalam kata
dan tulisan, tetapi dikhianati dalam laku. Selama laku dan KATA (huruf besar)
masih berseteru, tidak mau bersahabat, maka selama itu pulalah tidak ada
jaminan di masa depan bahwa darah tidak akan tertumpah lagi di negeri kepulauan
yang permai ini. Saya semakin curiga bahwa pola pembangunan kita selama ini
tidak pernah secara kongkret dan serius mengacu pada nilai-nilai Pancasila itu.
Inilah pangkal celaka nasional itu.
Pengalaman empirik menunjukkan, filosofi negara ini sekadar ditempatkan di
pucuk, sementara akarnya di bumi digerogoti oleh laku korup dan menyimpang
tanpa rasa malu. Angka kemiskinan sekitar 40 juta yang sewaktu-waktu dapat
menjadi pemicu amuk massa adalah fakta telanjang tentang betapa tidak seriusnya
kita mengurus negeri ini. Dalam pada itu, kualitas politisi kita secara umum,
di pusat dan daerah, semakin memburuk dan membusuk dari hari ke hari. Mereka
kehilangan perspektif tentang tanggung jawabnya terhadap nasib bangsa dan
negara yang sarat dengan masalah ini. Tragedi Poso hanyalah sebuah bisul kecil
dari kompleksitas masalah yang tengah mendera kita semua.

Posted on

Thursday, May 15, 2008

------------------------------------------------------------------------
Pelaku tindak pidana curang selalu lolos dari jerat hukum. Karena memang,
tidak ada mekanisme sanksi dalam peraturan Pemilu. Kesengajaan atau
kekhilafan?
------------------------------------------------------------------------

Tidak ditindaklanjutinya kasus-kasus pelanggaran pemilu sebagaimana
dituntut massa pendukung PPP semakin membenar-kan anggapan, Pemilu Orde
Baru memang telah di-desain untuk sirkulasi elite kekuasaan. Jadi, "apa
yang bisa diharapkan rakyat dari Pemilu?" ujar Ketua Pengurus Harian PIJAR
Indonesia BY. Widyankris-tyoko alias Jay, yang secara pribadi maupun
lembaga tetap menyerukan boikot selama aturan perundang-undangannya seperti
itu.
Bagi Jay, Pemilu Orde Baru tidak lebih sekedar pesta legitimasi yang
memakan biaya politik, ekonomi dan sosial tinggi. Banyaknya korban jiwa
dalam upaya berebut "pepesan kosong" ,adalah kejadian khas Pemilu 1997 yang
secara etis tidak boleh begitu saja dilupakan. Apalagi menyiratkan rasa
puas hanya karena perolehan suara OPP yang didukungnya melibas target yang
dipatoknya.
Belum lagi kalau dikaitkan proses pencerdasan kehidupan bangsa yang blue
printnya sudah dirancang para Pendiri Republik. Jelas nonsen! Bahkan untuk
mengejar target pemenangan Golkar, anak-anak SMA dirusak moralnya dengan
intimidasi. Tidak lulus kalau tidak menusuk anu! "Kalau anak-anak SMA yang
mestinya diberi ruang bagi pertumbuhan daya kritisnya justru dijejali
intimidasi, indoktrinasi bahkan pembodohan, mau dikemanakan Republik ini 25
tahun men-datang?" gugat Dharmaningtyas, pengamat pendidikan yang pernah
mengajar SD terpencil di Gunungkidul, Yogyakarta. Akankah mereka harus
dikorbankan demi kepentingan sesaat? Semisal, supaya mbak Tutut mengangguk
puas di kaca televisi?
Maka, banyak ilmuwan (kecuali yang tukang-tukang seperti Amir Santosa dan
Affan Ghafar) memandang, Pemilu Orde Baru justru semakin mengukuhkan
kebo-brokan sistem yang diagung-agungkan penguasa sebagai demokrasi
Pancasila. Padahal sebagai ideologi terbuka, mestinya demokrasi Pancasila
membuka ruang politik bagi keinginan perubahan. "Demokrasi Pancasila tidak
identik dengan manajemen politik darurat perang!" tambah Deddy Sahputra,
ketua PIPHAM. Demokrasi Pancasila harusnya lebih membuka ruang dialog bagi
kelompok-kelompok politik, entah itu KNPI, Kosgoro, PRD, PUDI, Humanika,
HMI atau PIJAR. Sama sekali bukan segala-sesuatunya, istilah Harmoko,
mengikuti petunjuk bapak presiden.
Benar kata Jay. Aturan pemilu memang sudah dirancang sedemikian rupa,
sehing-ga memberi ruang yang sangat leluasa bagi pemilik otoritas kekuasaan
negara untuk menggunakan cara-caranya dalam mem-pertahankan kekuasaan.
Dengan begitu, pemilihan umum mengalami dispancial of goals (peralihan
sasaran), menjadi sekedar alat bagi penguasa untuk menegaskan
legitimasinya. Peraturan Pemilu, UU No.1 Tahun 1985 yang diperkuat UU No. 3
Tahun 1985 tentang Parpol dan Golkar, memang dibuat dalam perspektif
stabilitas dan pertumbuhan. Tujuannya jelas, meng-hambat terjadinya
pergantian kekuasaan lewat Pemilu. Kalau perlu, lobang-lobang yang
memungkinkan naik-nya tokoh-tokoh diluar inner-circle restu presiden
disumbat pembenaran ideo-logis. Semisal penafsiran tunggal demokrasi
Panca-sila dalam cara pandang integralistik yang tegas menolak partai
Oposisi.
Demokrasi tanpa opo-sisi? Jelas tidak mungkin. Fungsi oposisi dalam ka-mus
ilmu politik manapun sudah jelas: balanching of power. Penyeimbang
ke-kuatan. Oposisi dibangun, dalam konteks Islam, karena adanya kesadaran
bahwa manusia itu tidak sempurna dan bersifat relatif. Maka perlu kekuatan
kontrol untuk menjaga tetap tegaknya akhlaqul kharomah. Tanpa kontrol,
siapapun berpotensi menyekutukan Tuhan dengan dirinya. Karena memang, tak
seorangpun yang dirasa mampu atau berani mengingat-kannya disaat ia
menyimpang dari rambu-rambu Allah.
Dalam konteks Barat pun, demokrasi menjadi mungkin karena di dalamnya
ter-simpan pengandaian siapapun memiliki potensi berbuat jahat dan korup.
Tanpa kontrol dari oposisi dan pemberi mandat, siapapun berpeluang
mengangkangi keku-asaan secara absolut. Kekuasaan absolut itu sendiri,
sebagaimana kata Lord Acton, cenderung memutlakkan kelakuannya yang korup.
Lagi pula demokrasi hilang alasan ke-ada-annya jika pengalaman empirik
manusia dibangun lewat peradaban para malaikat, manakala hubungan antara
individu yang satu dan yang lain berjalan jenjem karta raharja, tidak
dinodai sifat-sifat saling ingin mendominasi diantara sesamanya.
Dalam Pemilu Orde baru, sengotot apapun Partai di luar kekuasaan
pemerintah meracik kepandaian merayu rakyat, mustahil dibuka peluang menang
pemilu. Banyak sumbatan-sumbatan yang mem-buatnya nyaris tidak mungkin
berkuasa. Sebelum bergerak sudah ada ranjau peng-hadang. Tidak lain UU No.
3/ Tahun 1985 yang menempatkan pembina politik memiliki otoritas besar
dalam menentukan merah hijaunya Partai. Megawati yang punya kharisma dan
pengaruh luar biasa di kalangan rakyat harus enyah dari singga-sana DPP
PDI. Berbagai trik dan rekayasa digelar, semua dirancang memang untuk
meniadakan datangnya ancaman yang mengganggu keinginannya terus berkuasa.
Di sini, Deliar Noer seperti halnya Jay, tegas menolak Pemilu yang
jelas-jelas melecehkan etika dan akal sehat Untuk itu eks-rektor IKIP
Jakarta yang pernah mengajar di Seskoad itu memandang Golput juga sebagai
pilihan politik. Tidak saja pilihan etis, melainkan juga ada lan-dasan
teologisnya. Sebab, kalau tetap ikut Pemilu berarti menyerahkan diri pada
kekuasaan Thogut. Berarti setuju kebatil-an. Saat sekarang ini, ulama mana
sih yang punya keberanian moral untuk menegur kekuasaan yang sudah begitu
absolut itu?
Padahal, lanjut Deliar, dalam pemilihan Lurah, Golput itu diakui. Kalau
dia calon tunggal, harus berani berhadapan dengan bumbung kosong. Kalau
kalah proses pemilihannya diulang. Kalaupun terpilih dia juga harus
hati-hati, karena dengan dihitungnya suara golput lurah itu bisa
intropeksi. Oh ada sekian sebenarnya yang tidak setuju dengan saya. Pendiri
Forum Pemurnian Kedaulatan Rakyat (FPKR) ini juga setuju dengan pandangan,
sistem Pemilu Orde Baru hanya menyisakan satu fungsi: alat legitimasi
kekuasaan. Fungsi lain nggak ada lagi. Penyaluran aspirasi buntu. Hasrat
perubahan menghadapi ken-dala. "Nah, sekarang kuncinya, bagaimana sebagian
rakyat yang menginginkan perubahan benar-benar melakukan upaya itu!"
tegasnya.
Raibnya fungsi pemilu yang menurut AS. Hikam sebagai sarana bagi rakyat
mewujudkan kedaulatannya, ujar Sekjen KIPP Mulyana W. Kusumah, erat berkait
dengan dipersempitnya ruang politik yang seharusnya menjadi hak otonomi
rakyat. Pelarangan Mega Bintang , dianggap oleh Mulyana yang juga aktif di
PBHI, sebagai upaya represi terhadap daya kreativitas masyarakat.
Pelarangan itu kenyataannya dianggap sepi oleh massa. Kendati aparat
keamanan sudah telanjur diberi instruksi agar melarang simbol-simbol Mega
Bintang. Potensi konflik masyarakat akar rumput ini, meminjam istilah Amien
Rais, ibarat rumput kering disiram api, memer-ciklah!
Analisa ini mungkin cocok untuk merekam situasi Jakarta. Sebelum Mega
Bintang dilarang, kampanye PPP aman-aman saja. Setelah adanya pelarangan
itu kerusuhan lekas menjalar, hampir merata di seluruh perkampungan
Jakarta. Di situ terjadi akumulasi ketidakpuasan antara rakyat (yang
mengira) pemilu Orde baru mampu memberinya perubahan berhadap-an tembok
anti perubahan yang dijelmakan dalam personifikasi pendukung Golkar
(termasuk di dalamnya aparat keamanan). Terbentuknya musuh riil dalam
solidarity making itu selanjutnya meluas menjadi isu kesenjangan sosial
yang acap kali bermuat-an SARA. Maka, trend kerusuhan saat ini biasanya
mengarah pada gedung-gedung instansi pemerintah, kantor Koramil, Polsek,
pertokoan dan bank-bank.
"Mereka marah dan kecewa. Mulanya semapat berharap, lewat pemilu akan
ter-jadi perubahan. Ternyata dicurangi oleh sistem," ujar Jay menutup
obrolan....

Filsafat Naturalisme

Naturalisme berasal dari kata “nature.” Kadang pendefinisikan “nature” hanya dalam makna dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis menjadi “supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya, memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi sebagai asal dan fondasi kebenaran. Ia tidak memperlawankan material dengan spiritual, istilah itu mencakup bukan hanya alam fisik tetapi juga alam intelektual dan moral.
Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam semesta adalah keteraturan. Benak manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini. Terbit dan tenggelamnya Matahari, peredaran planet-planet dan susunan bintang-bintang yang bergeser teratur dari malam ke malam sejak pertama kali manusia menyadari keberadaannya di dalam alam semesta, hanya merupakan contoh-contoh sederhana. Ilmu pengetahuan itu sendiri hanya menjadi mungkin karena keteraturan tersebut yang kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum matematika. Tugas ilmu pengetahuan umumnya dapat dikatakan sebagai menelaah, mengkaji, menghubungkan semua keteraturan yang teramati. Ilmu pengetahuan bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa. Namun khusus untuk kosmologi, pertanyaan ‘mengapa’ ini di titik tertentu mengalami kesulitan yang luar biasa.

Sebagai suatu telaah mengenai alam semesta, kosmologi abad ke-20 yang dikenal sekarang ini berkembang dan diterima sebagai sintesis besar berbagai cabang ilmu pengetahuan alam. Kosmologi ini berupaya memperoleh pengertian yang menyeluruh mengenai struktur spasial, temporal, dan komposisional alam semesta skala besar dengan maksud mempersatukan tampilan dan sifat alam semesta teramati ke dalam suatu hopitesis yang akan mendefinisikan struktur dan evolusinya.
Kosmologi mengalami kemajuan yang luar biasa pesat terutama karena dukungan kecanggihan piranti pengamatan astronomis, serta laboratorium fisika zarah yang mampu menyediakan ‘ruang-waktu’ mirip masa lampau alam semesta dini. Sementara teori-teori fisika kontemporer menyediakan tetapan-tetapan dasar yang memungkinkan perilaku berbagai tampilan alam semesta dalam skala yang berbeda-beda kian dimengerti.
FAHAMAN-FAHAMAN YANG DIAJARKAN

1. Plato. (427 – 347 SM)
Salah satu anasir dasar adalah perbedaan yang nyata antara gejala (fenomena) dan bentuk ideal (eidos), dimana plato berpandangan bahwa, disamping dunia fenomen yang kelihatan, terdapat suatu dunia lain, yang tidak kelihatan yakni dunia eidos. Dunia yang tidak kelihatan itu tercapai melalui pengertian (theoria). Apa arti eidos dan hubungannya dengan dunia fenomena bahwa memang terdapat bentuk-bentuk yang ideal untuk segala yang terdapat dibumi ini. Tetapi asalnya tidak lain daripada dari sumber segala yang ada, yakni yang tidak berubah dan kekal, yang sungguh-sungguh indah dan baik yakni budi Ilahi (nous), yang menciptakan eidos-eidos itu dan menyampaikan kepada kita sebagai pikiran. Sehinnga dunia eidos merupakan contoh dan ideal bagi dunia fenomena.

2. Aristoteles (384 – 322 SM).
Aristoteles menyatakan bahwa mahluk-mahluk hidup didunia ini terdiri atas dua prinsip :
a. Prinsip formal, yakni bentuk atau hakekat adalah apa yang mewujudkan mahluk hidup tertentu dan menentukan tujuannya.
b. Prinsip material, yakni materi adalah apa yang merupaakn dasar semua mahluk.

Sesudah mengetahui sesuatu hal menurut kedua prinsip intern itu pengetahuan tentang hal itu perlu dilengkapi dengan memandang dua prinsip lain, yang berada diluar hal itu sendiri, akan tetapi menentukan adanya juga. Prinsip ekstern yang pertama adalah sebab yang membuat, yakni sesuatu yang menggerakan hal untuk mendapat bentuknya. Prinsip ekstern yang kedua adalah sebab yang merupakan tujuan, yakni sesuatu hal yang menarik hal kearah tertentu. Misalnya api adalah untuk membakar, jadi membakar merupakan prinsip final dari api. Ternyata pandangan tentang prisnip ekstern keuda ini diambil dari hidup manusia, dimana orang bertindak karena dipengaruhi oleh tujuan tertentu, pandangan ini diterapkan pada semau mahluk alam. Seperti semua mahluk manusia terdiri atas dua prinsip, yaitu materi dan bentuk.
Meteri adalah badan, karena badan material itu manusia harus mati, yang memberikan bentuk kepada materi adalah jiwa. Jiwa manusia mempunyai beberapa fungsi yaitu memberikan hidup vegetatif (seperti jiwa tumbuh-tumbuhan), lalu memberikan hidup sensitif (seperti jiwa binatang) akhirnya membentuk hidup intelektif. Oleh karena itu jiwa intelektif manusia mempunyai hubungan baik dengan dunia materi maupun dengan dunia rohani, maka Aristoteles membedakan antara bagian akal budi yang pasif dan bagian akal budi yang aktif. Bagian akal budi yang pasif berhubungan dengan materi, dan bagian akal budi yang yang aktif berhubungan dengan rohani. Bagian akal budi yang aktif itu adalah bersifat murni dan Illahi. Akal budi yang aktif menjalankan dua tugas. Tugas yang pertama adalah memandanf yang Illahi untuk mencari pengertian tentang mahluk-mahluk menurut bentuknya masing-masing. Tugas yang kedua dari akal budi manusia yang aktif adalah memberikan bimbingan kepada hidup praktis. Disini diperlukan sifat keberanian, keadilan dan kesederhanaan.

3. William R. Dennes. (Filsuf Modern)
Beberapa pandangan :
a. Kejadian dianggap sebagai ketegori pokok, bahwa kejadian merupakan hakekat terdalam dari kenyataan, artinya apapun yang bersifat nyata pasti termasuk dalam kategori alam.
b. Yang nyata ada pasti bereksistensi, sesuatu yang dianggap terdapat diluar ruang dan waktu tidak mungkin merupakan kenyataan dan apapun yang dianggap tidak mungkin ditangani dengan menggunakan metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam tidak mungkin merupakan kenyataan.
c. Analisa terhadap kejadian-kejadian, bahwa faktor-faktor penyusun seganap kejadian ialah proses, kualitas, dan relasi.
d. Masalah hakekat terdalam merupakan masalah ilmu, bahwa segenap kejadian baik kerohanian, kepribadian, dan sebagainya dapat dilukiskan berdasarkan kategorikategori proses, kualitas dan relasi.
e. Pengetahuan ialah memahami kejadian-kejadian yang saling berhubungan, pemahaman suatu kejadian, atau bahkan kenyataan, manakala telah mengetahui kualitasnya, seginya, susunanya, satuan penyusunnya, sebabnya, serta akibat-akibatnya.

KESIMPULAN

1. Menurut Plato terdapat dua dunia yaitu dunia materi yang merupakan obyek pengalaman dan dunia rohani yang merupakan obyek pengertian, yang terpisah sama sekali yang satu dengan yang lainya. Menurut Aristoteles itu tidak mungkin, sebab jika dunia rohani terlepas sama sekali dari dari dunia materi, dunia rohani tidak berguna lagi bagi dunia materi. Bahkan ide-ide rohani (eidos) tidak dapat dikenal manusia, yang termasuk dunia materi ini juga. Namun aristoteles mengakui bahwa terdapat ide-ide rohani, sebagai obyek pengertian, yang berbeda dari hal-hal konkret yang merupakan obyek pengalaman manusia. Disimpulkan bahwa ide-ide itu merupakan hasil abstraksi daripada sesuatu yang ada dalam hal konkret itu, yakni bentuk dan hakekat. Bentuk itu pertama-tama ditemukan dalam konkret, kemudian juga dalam ide yang diperoleh oleh manusia melalui anstraksi.
2. Gagasan mengenai adanya suatu kejadian yang terdapat diluar ruang dan waktu, seperti yang diajarkan oleh Plato misalnya, bukanlah suatu kenyataan, sedangkan manusia sebagai mahluk yang terdapat dalam ruang dan waktu yang senantiasa berada dalam proses perubahan.
3. Makna Naturalisme, (barang sesuatu bersifat alami) bahwa merupakan hasil berlakunya hukum alam fisik dan terjadinya menurut kodrat atau menurut wataknya sendiri.
4. Bahwa mahluk-mahluk hidup didunia ini terdiri atas dua prinsip :
a. Prinsip formal, yakni bentuk atau hakekat adalah apa yang mewujudkan mahluk hidup tertentu dan menentukan tujuannya.
b. Prinsip material, yakni materi adalah apa yang merupakan dasar semua mahluk.

Mukadimah

Makalah yang kami presetasikan sekarang ini, hanyalah usaha kecil dan ala kadarnya untuk mencoba memaparkan kembali satu episode sejarah kelam umat Islam. Dan usaha kecil ini pun dibenturkan dengan berbagai keterbatasan, sehingga “rekaman” sejarah yang ingin kami putar dari nol sampai masa sekarang, banyak mengalami kesulitan. Dan kesulitan ini pun kami rasakan ketika ingin menganalisa sekaligus mengkritisi fenomena yang ada sebagai imbas dari “sejarah” tersebut.

Mu’tazilah adalah tema yang diangkat kali ini. Bagaimana peranan ideologi rasionalitas ini dalam pentas sejarah perjalanan ummat Islam, sejauh mana peranan ideologi ini dalam menghantarkan ummat Islam ka dalam ruang sejarah yang kelam, apa bahaya yang di usungnya, dan bagaimana peranan kita sebagai ummat Islam — yang komitmen secara totalitas terhadap pentunjuk Allah yang terlembagakan dalam Al-Quran dan As-Sunnah– menyikapi, mengkritik sekaligus menggugat ideologi rasionalitas tersebut.

Kiranya makalah ini masih sangat jauh dari keobjektifitasan dan kesempurnaan untuk memaparkan semuanya, namun mudah-mudahan sedikit memberi pijakan kepada ummat Islam untuk terus menerus memperbaiki sejarah dengan mengambil “ibrah” dari “kecelakaan sejarah” yang terjadi dalam rentetan sejarah ummat Islam.

Sebab timbulnya firqah-firqah di dunia Islam

Perbedaan di antara umat kita, dalam berbagai bentuk dan skalanya, memang mempunyai akar historis yang panjang, selain karena ia memang dimungkinkan oleh berbagai muatan ajaran Islam yang lebih terbuka.

Secara historis, perbedaan-perbedaan dalam pandangan-pandangan akidah telah melahirkan berbagai mazhab. Ada Ahlussunnah Wal Jamaah yang terbesar, ada Syi’ah dengan berbagai aliran lagi di dalamnya, ada aliran Mu’tazilah yang juga punya pendukung di negeri kita, ada Khawarij dan lain sebagainya.

Perbedaan tersebut dalam tubuh ummat mulai tampak sejak meninggalnya Rasulullah Saw dalam peristiwa pemilihan khalifah pengganti beliau. Perbedaan ini tidak sampai memecah belah umat saat itu dan mampu diselesaikan dengan damai dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi Saw. begitu juga, proses peralihan kekhalifahan dari Abu Bakar kepada Umar, gelombang perpecahan dalam tubuh umat Islam mampu dituntaskan dengan rapi.

Perpecahan ini mulai menggejala pada masa kepemimpinan Utsman, terbukti lahirnya firqah-firqah baru dalam tubuh Islam. Ini terjadi setelah timbulnya fitnah Abdullah bin Saba’ dan terbunuhnya Utsman ra. Para pembunuh ‘Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan ‘Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut: Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh ‘Utsman. Sebaliknya, para pembunuh ‘Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan ‘Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan ‘Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.

Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada ‘Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, dalam “Peristiwa Shiffin” di situ ‘Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan “de jure”-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap ‘Utsman, kaum Khawarij juga memandang ‘Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah, juga Amr ibn al-’Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu’awiyah mengalahkan Ali dalam “Peristiwa Shiffin” tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka, dan ‘Amr ibn al-’Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka ‘Amr, karena rupanya mirip).

Bila Khawarij merupakan kelompok yang kontra terhadap Ali, maka firqah kedua yang muncul kepermukaan yaitu Rhawafidl (Syi’ah) justru kebalikan Khawarij. Mereka adalah pendukung Ali dan mendaulatkan bahwa Ali lah yang berhak menyandang gelar khalifah setelah Nabi Muhammad Saw. bukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka semua ini bahkan dikafirkan oleh Syi’ah.

Setelah itu muncul Murji’ah pada akhir kurun pertama (akhir masa sahabat) tepatnya pada masa pemerintahan Ibnu Zubair dan Abdul Malik. Kemudian pada awal kurun kedua (masa tabi’in) yakni pada masa akhir pemerintahan Bani Umayyah muncul Jahmiyah, Musyabihah, dan Mumatstsilah yang diusung Ja’di bin Dirham dan Jahm bin Shafwan, penganut faham Jabariah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan.

Kemunculan berikutnya adalah Mu’tazilah yang mempunyai ciri khas ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah kebalikan dengan apa yang diusung Jahm bin Shafwan. Setelahnya, ada As’ariyah dan Maturidiah.

Bila dirunut, sebenarnya pangkal perpecahan ini awalnya bermuatan politis (terutama Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah). Namun, dalam perkembangannya mengembang biak menjadi aliran (sekte) yang membawa ideologi baru bahkan dengan fiqh baru pula. Sehingga perbedaannya menyentil aspek akidah dan muatannya kini bukan lagi politik an sich.

Penyebab utama perbedaan pada aspek akidah adalah: Pertama, telah keluarnya dari rel utama Allah Swt. manhaj Islam yang hak dalam hal ini Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua, Percampuran budaya asing yang mewarnai kemurnian ajaran Islam. Ini terjadi akibat sebagian muslim memberi kesempatan budaya tersebut berkembang dalam masyarakat Islam yang awalnya sekedar keragaman budaya namun pada akhirnya menyentil ajaran Islam yang prinsipil.1 Ketiga, Tidak adanya figur pemimpin panutan yang mampu tampil di atas semua perbedaan yang ada.

Mu’tazilah Dalam Lintas Sejarah

1. Definisi Mu’tazilah

a. Secara Etimologi

Mu’tazilah adalah kata dalam bahasa arab yang asalnya yaitu ‘aza atau i’tazala, kata-kata ini diulang dalam Al-quran sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i : menjauhi sesuatu. Seperti dalam satu redaksi ayat :

فان اعتزلوكم فلم يقاتلوكم وأ لقوا اليكم السلم فما جعل الله لكم عليهم سبيلا (النساء 90)

Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. 4:9)2

b. Secara Terminologi Para Ulama

Mu’tazilah adalah firqoh Islamiyyah (aliran dalam Islam) yang muncul pada masa akhir dinastii umayyah dan tumbuh pesat pada masa dinasti abbasiyyah. Mereka berpegang pada kekuatan rasionalitas an sich dalam memahami aqidah Islam (al-Aq‎‎îdah al-Islamiyyah), hal itu lebih sebagai bukti dari pengaruh berbagai “filsafat-filsafat import” yang menyimpang dari aqidah ahlu sunnah wal jama’ah.3 filsafat-filsafat import itu di antaranya adalah filsafat Yunani dalam diskursus dzat dan sifat, filasafat Hindu, dan aqidah Yahudi dan Nashrani.4

Sedangkan sebagian ulama, mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang berbeda pendapat dengan umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Waashil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry. 5

Kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi, didapatkan adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat Islam, khususnya Ahli Sunnah, dan bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus, sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus.2. Perkembangannya.

Berbicara tentang awal mula sejarah Muitazilah, orang akan selalu merujuk pada episode diskusi Hasan al-Basri (w.110 H/728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan para muridnya di seputar tema muslim yes, muslim no yang baru dalam taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah termasuk orang dalam (in group) atau luar (out group). Maka terhadap pertanyaan yang terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu adalah jawaban-jawaban sebagai berikut:

Pertama, Dengan melakukan dosa besar, seorang muslim telah terpental dari kelompoknya (komunitas), alias menjadi “kafir”, dan karena itu—sesuai dengan hukum riddah—halal ditumpahkan darahnya. Jawaban ini diajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan khawarij.

Kedua, Mengatakan bahwa muslim yang melakukan dosa besar masih tergolong muslim, adapun dalam kaitannya dengan dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di akhirat nanti. Jawaban inilah yang agaknya dicondongi umat Islam yang disebut sebagai kelompok murjiah.

Hasan al-Basri, selaku pemimpin dan tokoh yang merasa harus menjaga keutuhan umat, berada dalam arus kecenderungan umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada “di dalam” (minna) atau “di luar” (minhum) harus benar-benar jelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya yang melawan arus tadi (bukan muslim dan bukan kafir), dengan nada menyesal Hasan berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I‘tazala’anna!. Kata i’tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu’tazilah (yang hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada Washil bin Atha dan segenap pengikutnya.6

Mu’tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakkan di atas pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad kedua hijriyah, tepatnya tahun 105 atau 110 H di akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di kota bashroh di bawah pimpinan Waashil bin Atho’ Al Ghozaal. Kelompok atau sekte ini berkembang dan terpengaruh oleh bermacam-macam aliran pemikiran yang berkembang di masa itu, sehingga didapatkan padanya kebanyakan pendapat mereka mengambil dari pendapat aliran pemikiran Jahmiyah, yang kemudian berkembang dari kota Bashroh yang merupakan tempat tinggalnya Al Hasan Al Bashry, lalu menyebar dan merebak ke kota Kufah dan Baghdad. Akan tetapi, pada masa ini mu’tazilah menghadapi tekanan yang sangat berat dari para pemimpin Dinasti Umayah yang membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat terhambat penyebarannya, sehingga hal itu membuat mereka sangat membenci Dinasti Umayah karena penentangan mereka terhadap mazhab (aliran) mu’tazilah dan i’tikad mereka dalam permasalahan qadar bahkan mereka pun tidak menyukai dan tidak meridhoi seorangpun dari pemimpin Dinasti Umayah kecuali Yazid bin Al Waalid bin Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 126 H ) karena dia mengikuti dan memeluk mazhab mereka.

Dalam hal ini berkata Al Mas’udy :”Yazid bin Al Waali telah bermazhab dengan mazhab Mu’tazilah dan penapat mereka tentang lima pokok (ajaran mereka) yaitu At Tauhid, Al Adl, Al Wa’iid, Al Asma wal Ahkam -yaitu pendapat Manzilah baina Al Manzilatain -dan amar ma’ruf nahi mungkar” dan berkata lagi:”(sehinga Mu’tazilah mengedepankan Yazid bin Al Waalid dalam sisi keagamaan dari Umar bin Abdul Aziz”.

Permusuhan dan perseteruan antara Dinasti Umayah dengan Mu’tazilah ini berlangsung terus menerus dengan keras sampai jatuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah dan tegaknya kekuasaan Dinasti Abbasiyyah. Kemudian, bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, berkembanglah Mu’tazilah dengan mulainya mereka mengirim para dai dan delegasi-delegasi ke seluruh negeri Islam untuk mendakwahkan mazhab dan i’tikad mereka kepada kaum muslimin dan diantara yang memegang peran 6 besar dan penting dalam hal ini adalah Waashil bin Atho’. Dan kesempatan ini mereka peroleh karena mazhab mereka dengan syiar dan manhajnya memberikan dukungan yang besar dalam mengokohkan dan menguatkan kekuasaan Dinasti Abbasiyyah khususnya pada zaman Al Ma’mun yang condong mengikut aqidah mereka, apalagi ditambah dengan persetujuan Al Ma’mun terhadap pendapat mereka tentang Al Quran itu Makhluk sampai-sampai Al Ma’mun mengerahkan seluruh kekuatan bersenjatanya untuk memaksa manusia untuk mengikuti dan meyakini kebenaran pendapat tersebut, lalu beliau mengirimkan mandat kepada para pembantunya di Baghdad pada tahun 218 H untuk menguji para hakim, Muhadditsin dan seluruh Ulama dengan pendapat bahwa Al Qur’an adalah makhluk, demikian juga beliau memerintahkan para hakim untuk tidak menerima persaksian orang yang tidak berpendapat dengan pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sangat besar. Diantara para ulama yang mendapatkan ujian dan cobaan ini adalah Al imam Ahmad bin Hambal -dan kisah beliau ini sangat terkenal-, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqiedah dan pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk.

Mu’tazilah terus mendapat perlindungan dan bantuan dari para penguasa Dinasti Abbasiyyah dari zaman Al Ma’mun sampai zaman Al Mutawakil dan pada zaman tersebut sekte mu’tazilah dijadikan mazhab dan aqidah resmi negara, satu faktor yang membuat mereka mampu menyebarkan kekuasaan mereka dan mampu menekan setiap orang yang menyelisihi mereka, lalu mereka menjadikan padang sebagai ganti dari hujjah dan dalil. Maka berkembanglah aliran ini di negeri-negeri muslimin dengan bantuan dari sebagian pemimpin-pemimpin Bani Abasyah.

Kemudian mereka terpacah menjadi dua cabang:

1. Cabang Bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Waashil bin Atho’, Amr bin Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al ‘Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syahaam, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa’i, Abu Hasyim Al Jubaa’i dan yang lain-lainnya.

2. Cabang Baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu’tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja’far bin Harb, Ja’far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al Balkhy Al Ka’by dan yang lain-lainnya.

Sebenarnya faktor yang mendasar yang mendorong mereka sibuk dan memperdalam ilmu kalam adalah untuk membalas hujjah dengan hujjah dan untuk menghancurkan hujjah-hujjah para musuh Islam serta untuk membantah semua tuduhan dan kebohongan mereka sehingga akhirnya mereka berlebih-lebihan dalam mengutamakan dan mengedepankan ilmu ini atas semua ilmu yang selainnya,lalu mereka menjadikannya sebagai satu-satunya cara untuk menentukan adanya Allah dan Rububiyah-Nya, hujah-hujah kenabian dan untuk mengenal sunnah dari bid’ah, sebagimana yang dikatakan Al Jaahidz: “dan sesuatu apakah yang lebih agung dari segala sesuatu, seandainya tidak karena kedudukannya, tidaklah dapat ditetapkan kerububiyahan-Robb, tidak dapat ditegakkan hujjah-hujah kenabian dan tidak dapat dipisahkan antara hujjah dengan syubhat, dalil dengan apa yang terbayangkan dalam bentuk dalil. Dengannya dapat dikenal Al Jamaah dari Al Firqoh (kelompok yang menyempal) dan sunnah dari bid’ah serta keanehan dari yang masyhur”.

Walaupun mu’tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami kehidupan akal sejak abad ke dua sampai ke lima hijriyah, akan tetapi tidak mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran dan kegagalan dalam bidang tersebut. Hal ini tampaknya terjadi karena mereka tidak mengambil sumber manhaj mereka dari Al Qur’an dan As Sunnah, bahkan mereka mendasarinya dengan bersandar kepada akal semata yang telah dirusak oleh pemikran filsafat yunani dan bermacam-macam aliran pemikiran.

3. Sebab Penamaannya.

Para Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama Mu’tazilah menjadi beberapa pendapat:

Pertama, penamaan mu’tazilah hasil dari diskursus tentang masalah aqiedah ke-agamaan, seperti menghukumi pelaku dosa besar, tentang masalah qodar dalam artian, apakah seorang hamba berkuasa atas perbuatannya atau tidak. Dan pengusung pemikiran ini menamai mu’tazilah dengan beberapa sebab :

1. bahwasannya mereka meninggalkan kaum muslimin dengan perkataan manjilah baina manjilataini (satu diantara dua tempat).

2. Mereka menamai mu’tazilah setelah hengkangnyah Wasil bin atha dari halaqoh hasan Bashari dan membentuk halaqoh khusus. Tentang hal ini, Hasan Bashari berkata “Wasil telah meninggalkan kita” bahwasanya mereka berkata wajib meninggalkan pelaku dosa besar dan membaikotnya.

Kedua, penamaan mu’tazilah lahir dari pergulatan politik di mana sekelompok orang-orang dari Syi’ah Ali meninggalkan Hasan ketika Mu’awiyah melepaskan jabatan (sebagai raja)8

Adapun sejarawan Mu’tazilah (Qadli Abdu al-Jabar al-hamdani) berpendapat bahwa mu’tazilah bukan madzhab baru atau firqah baru, akan tetapi dia adalah pelanjut risalah Rasulullah saw dan shahabat-shahabatnya. Penamaan tersebut, disebabkan mereka “menjauhi kejahatan”. Seperti dalam firman Allah9: واعتزلكم وما تدعون

Akar dan Produk Pemikiran Mu’tazilah

Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.

Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari taqdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah Pemikiran mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.

Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassarah fi’ladyân wa’lmadzâhib wa’lahzâb al-mu’âshirah11bahwa pada awalnya sekte mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:

1. pemikiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.

2. Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan—mu’min dan kafir—(manzilatun baina’lmanzilataini)

Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.

Sejalan dengan keberagaman akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh sekte mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.

Dalam bukunya, “al-farqu baina’lfirâq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte12. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh sub sekte tersebut masih ada lagi dua sub sekte mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah: al-khâbithiyah dan al-himâriyyah.

Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dari duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah13:

Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.

pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “diri”-Nya.

Pemikiran tentang ke-baru-an (hâdits) kalâmu’lLah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalâmu’lLah adalah makhluk-Nya.

Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta prilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas perbuatannya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan mu’tazilah disebut qodariyah oleh sebagian kaum muslimin.

Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah diantara dua manzilah—mu’min dan kafir—(manzilatun baina’lmanzilataini). Inilah alasan mereka disebut mu’tazilah.

Pemikiran bahwa segala sesuatu perbutan manusia yang tidak diperintahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah seuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.

Inilah sebagian produk pokok pemikiran mu’tazilah yang cukup mewakili identitas mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran. seluruh pemikiran mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sakte yang paling menguasai ilmu kalam.

Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam ‘Abdull’ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:

“Agama adalah kepunyaan ahli Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional)”14

Selanjutnya, dari enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh sub sekte mu’tazilah di atas mereka merangkum kembali menjadi lima dasar15 (ushûl) pemikiran yang menjadi trade mark mereka. Kelima dasar pemikiran tersebut adalah: al-tauhîd, al-‘adl (kedilan Allah), al-wa’d wa’lwa’îd (janji dan ancaman Allah), al-manzilatu baina’lmanzilataini, al-amru bilma’rûf wa al-nahyu ‘ani’lmunkar.

Secara ringkas lima dasar pemikiran mu’tazilah ini dijelaskan dalam mausu’ah WAMY16, berikut kutipannya dengan sedikit perubahan:

(1) Al-Tauhîd

Mereka meyakini bahwa Allah disucikan dari perumpamaan dan permisalan (laisa kamitslihi syai-un) dan tidak ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya serta tidak berlaku pada-Nya apa yang berlaku pada manusia. Ini adalah faham yang benar, akan tetapi dari sini mereka menghasilkan konklusi yang batil: kemustahilan melihat Allah sebagai konsekwensi dari penegasian sifat-sifat (yang menyerupai manusia); dan keyakinan bahwa al-Quran adalah makhluk sebagai konsekwensi dari penegasian Allah memiliki sifat kalam.

(2) Al’adl (keadilan Allah)

Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi hamba-hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nyadengan kekuatan (qudrah) yang Allah jadikan buat mereka. Dan bahwasanya Allah tidak memerintah kecuali kepada yang diinginkan-Nya dan tidak melarang kecuali dari yang dibenci-Nya. Dan Allah adalah penolong bagi terlaksananya kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak bertanggungjawab atas terjadinya kemungkaran yang dilarang-Nya.

(3) Al-wa’d wa’lwa’îd (janji dan ancaman Allah)

Maksud mereka dengan janji dan ancaman Allah adalah bahwa Allah akan memberi pahala atas kebaikan yang diperbuat manusia dan memberi balasan atas kejelekan yang dilakukannya, dan (secara mutlak) tidak akan mengampuni pendosa besar jika tidak bertobat.

(4). Al-manzilatu baina’lmanzilataini

Maksud mereka adalah bahwa pendosa besar berada di antara dua kedudukan, ia tidak berada dalam kedudukan mu’min tidak juga kafir.

(5) Al-amru bilma’rûf wa al-nahyu ‘ani’lmunkar

Mereka menetapkan bahwa hal ini (al-amru bilma’rûf wa al-nahyu ‘ani’lmunkar) adalah kewajiban seluruh mu’minin sebagai bentuk penyebaran dakwah Islam; penyampaian hidayah bagi mereka yang tersesat; dan bimbingan bagi mereka yang menyimpang. Semuanya dilakukan sesuai kemampuan, bagi yang mampu dengan penjelasan maka dengan penjelasan, yang mampu dengan pedang maka dengan pedang.

Dari pemaparan tentang pemikiran Mu’tazilah di atas, terlihat bahwa akal adalah satu-satunya sandaran pemikiran mereka. Oleh karena itu, terkenallah bahwa mu’tazilah adalah pengusung teologi rasionalitas. Teologi rasionaltas yang di usung kaum mu’tazilah tersebut bercirikan :

Pertama, Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.

Kedua, Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran

Ketiga, Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.

Teologi rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M. 10

Titik Lemah Ideologi Mu’tazilah

Jika mu’tazilah, dengan teologi rasionalitasnya, dikategorikan sekte “pemuja” akal. apakah dengan itu berarti mereka adalah golongan berakal?

Jika kita masih memegang teguh al Quran, maka al Quran telah menyiapkan jawabannya. Firman Allah dalam Q.S. Ali Imran: 7 sebagai berikut:

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”

Ayat di atas menegaskan bahwa terdapat dua jenis isi kandungan al Quran: pertama, ayat-ayat yang muhkamât[1]. Kedua, ayat-ayat yang mutasyâbihât [2]. Kemudian menjelaskan bahwa di antara manusia ada yang selalu condong pada kesesatan yaitu mereka yang selalu mengikuti ayat-ayat mutasyâbihât dan mencari-cari ta’wilnya, padahal hanya Allah-lah yang mengetahui ta’wilnya.

Lalu kalau kita melihat produk pemikiran mu’tazilah yang telah dipaparkan di atas, maka kita dengan mudah akan mengetahui bahwa apa yang banyak mereka bahas adalah ayat-ayat mutasyâbihât. Ambil saja contohnya tentang sifat-sifat Allah yang Allah sendiri (dalam al Quran) tidak menerangkannya secara detil (tafshîl). Lalu, dengan kecondongannya kepada kesesatan, mereka mencari-cari ta’wil yang seluruhnya disandarkan pada akal rasional. Akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan yang sesat (sesuai kecondongan mereka) dengan mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat azali kalâm, bashar, dan lain sebagainya. Lebih sesat lagi mereka mengatakan dan menyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh mata manusia bahkan Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya! sungguh kesesatan yang nyata.

Selanjutnya, karena kepuasannya menggunkan akal, mereka pun menggunakannya dalam segala permasalahan hingga akhirnya menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran, menyingkirkan al Quran yang sebelumnya telah dilemahkan kedudukannya dengan mengatakan bahwa al Quran adalah makhluk Allah yang berperspektif lelah dan memiliki kekurangan; dan melupakan sunnah (juga) sebagai sumber hukum. Dari realita tersebut, pantaslah jika mu’tazilah kita golongkan ke dalam kelompok yang hatinya condong pada kesesatan seperti disitir dalam Ali Imran ayat tujuh di atas.

Sementara sebagai negasi dari kelompok yang hatinya condong pada kesesatan, Allah meyebutkan orang-orang yang ilmunya mendalam (al râskhûna fi’l’ilmi) dan menjelaskan pendirian mereka dihadapan ayat-ayat mutasyâbihât, mereka berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Mereka itulah para Ulul Albab (orang yang berakal), satu-satunya golongan yang bisa mengambil pelajaran.

Jika al Quran mengatakan bahwa orang yang berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Adalah orang yang mendalam ilmunya dan dinamainya dengan ulul albab (orang yang berakal), lalu dimanakan mu’tazilah berada jika bukan di golongan (yang cenderung pada) kesesatan?

Secara logika sehat (rasional) sendiri, ideologi mu’tazilah sudah terpatahkan. Coba kita buka cakrawala kita dengan bebas menembus seluruh alam semesta, bayangkan ribuan bintang, planet, meteorid dan berbagai benda angkasa yang ada di semesta; lalu kembali lagi ke bumi yang usianya sudah bermilyar-milyar tahun, bayangkan gunung dengan segala karakteristik dan isinya, bayangakan hutan dengan binatang-binatang yang mengisinya dengan berbagaimazam jenis dan bentuknya, kemudian saksikan laut yang lebih luas dari daratan yang sangat menyimpan rahasia yang tidak banyak diketahui. Adakah, dalam sejarah, seseorang dengan kekuatan akalnya mampu mengetahui seluruh benda makhluk Allah itu?

Jika makhluk-makhluk-Nya saja tidak mampu difikirkan, apa jaminannya akal akan mampu memikirkan Allah, Sang Pencipta! Sungguh kesombongan yang nyata yang mengisi rongga hati manusia yang ngotot ingin memikirkan dan merasionalisasikan Allah. Mereka adalah manusia yang men-tuhan-kan hawa nafsu, nafsu intelektual mereka. Tentang hal ini Allah berfirman:

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[3] dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. al Jatsiyah,45;23)

Ideologi Mu’tazilah, masih laku?

Sangat Sulit Rasanya bila kita harus menjawab tuntas pertanyaan di atas, apakah ideolodi mu’tazilah akan tetap laku atau sebaliknya, mengingat, di satu sisi ideologi rasioalitas Mu’tazilah ditentang habis-habisan oleh mayoritas ummat Islam, seperti kita tahu dalam perjalanan kesejarahannya, rasionalitas mu’tazilah selalu dilawan oleh golongan dari al-Asy’ariyyah. Namun disisi lain banyak sekali wacana pemikiran Islam yang mengusung ideologi rasionalitas tersebut.

Di samping fenomena di atas, adalah keterbatasan devisi kami dalam litelatur, analisa dan wawasan yang menyebabkan tidak bisa memberi jawaban yang tuntas. Barangkali poin terakhir ini yang menarik untuk kita angkat dalam ruang diskusi mengingat, ragam peta pemikiran ke agamaan yang ada, khususnya di Indonesia adalah bukti masih bercokol kuatnya pengaruh ideologi rasionalitas Mu’tazilah dalam pemikiran Islam modern.

Terlepas dari itu, kita sebagai ummat Islam yang menyerahkan diri secara totalitas, termasuk dalam memberi porsi kepada akal. Islam melindungi dan memberi ruang kebebasan untuk berpikir, tapi yang menjadi persoalan sejauh mana perlindungan dan kebebasan berpikir itu diberikan, apakah manusia boleh berpikir sebebas-bebasnya tanpa mengenal batas, sehingga boleh memikirkan dunia yang bukan dunainya (makrokosmos), apakah manusia boleh memikirkan tentang dzat Allah, hari akhirat dan merapkan paradigmanya pada dunia metafisika, sehingga ia terperosok pada kekeliruan seperti yang dialami para filisuf Yunani14

Mu'tazilah

Posted on

Tuesday, May 13, 2008

Berhubungan dengan sila kelima Pancasila "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" berhasil dibawa turun ke bumi Nusantara, rasanya tidak akan sebanyak ini darah anak bangsa harus tertumpah. Tragedi Poso hanyalah salah satu ranting di pohon republik yang semakin mengalami kerapuhan moral-kultural, terutama yang berlangsung sejak 1998. Persis bersamaan dengan tahun mulai bergulirnya era reformasi yang telah menumbangkan pohon otoritarian yang sebelumnya membunuh kemerdekaan warga selama sekian dasawarsa.

Sayang sekali, era reformasi gagal melakukan konsolidasi kekuatan utamanya. Akibatnya, kongsi politik para elite hanya seumur jagung. Egoisme dan sempit dada politisi adalah faktor penyebab utamanya, sebuah warisan yang belum juga menghilang sejak masa pergerakan nasional awal abad ke-20.

Darah anak bangsa tidak saja tumpah di Poso, melainkan juga di Sampit, Ambon, dan Papua dalam rentang waktu hampir bersamaan. Jauh sebelum itu, perang saudara juga telah melukai tubuh dan jiwa bangsa ini oleh berbagai sebab. Salah satu penyebab utamanya adalah putusnya komunikasi di antara elite bangsa yang tidak jarang sangat naif dalam pendekatan politiknya, baik pihak Jalarta maupun pihak atau daerah yang melawan. Pemberontakan PKI di Madiun, DI/TII, RMS, PRRI/Permesta, percobaan kudeta PKI 1965 dan reaksi keras terhadapnya, tragedi Aceh, dan konflik-konflik lain dalam skala kecil, semuanya tidak saja menumpahkan darah dalam jumlah ribuan, melainkan juga mewariskan dendam sejarah yang sia-sia.

Saya sudah sampai pada kesimpulan bahwa penyebab utamanya adalah ketidakpedulian elite politik terhadap sila kelima Pancasila khususnya dan terhadap nilai-nilai Pancasila pada umumnya. Akibat ketidakpedulian ini, maka sila kedua "Kemanusiaan yang adil dan beradab" telah diubah menjadi perilaku "anti-kemanusiaan dan biadab".

Yang ajaib adalah kenyataan bahwa Pancasila masih saja dimuliakan dalam kata dan tulisan, tetapi dikhianati dalam laku. Selama laku dan KATA (huruf besar) masih berseteru, tidak mau bersahabat, maka selama itu pulalah tidak ada jaminan di masa depan bahwa darah tidak akan tertumpah lagi di negeri kepulauan yang permai ini. Saya semakin curiga bahwa pola pembangunan kita selama ini tidak pernah secara kongkret dan serius mengacu pada nilai-nilai Pancasila itu. Inilah pangkal celaka nasional itu.

Pengalaman empirik menunjukkan, filosofi negara ini sekadar ditempatkan di pucuk, sementara akarnya di bumi digerogoti oleh laku korup dan menyimpang tanpa rasa malu. Angka kemiskinan sekitar 40 juta yang sewaktu-waktu dapat menjadi pemicu amuk massa adalah fakta telanjang tentang betapa tidak seriusnya kita mengurus negeri ini. Dalam pada itu, kualitas politisi kita secara umum, di pusat dan daerah, semakin memburuk dan membusuk dari hari ke hari. Mereka kehilangan perspektif tentang tanggung jawabnya terhadap nasib bangsa dan negara yang sarat dengan masalah ini. Tragedi Poso hanyalah sebuah bisul kecil dari kompleksitas masalah yang tengah mendera kita semua.

Sudah memasuki tahun kesembilan, Poso masih saja mencekam dalam tingkat intensitas yang bervariasi. Rasa aman dan takut datang silih berganti. Tibo telah tewas ditembus peluru untuk menebus perbuatan brutalnya, para santri pun sebelum itu banyak yang dibantai. Poso telah menjadi teater maut untuk saling membunuh. Kaum teroris telah memanfaatkan situasi rawan dan rentan ini untuk mengacaukan situasi yang sudah kacau, tidak jarang dengan slogan-slogan agama (Islam). Teologi maut menemukan bumi Poso untuk menghancurkan peradaban anak bangsa. Dendam sejarah yang belum pupus semakin menyuburkan rasa saling tidak percaya.

Kemudian datang pula tuntutan untuk membubarkan Detasemen 88 Anti-Teror, yang dibentuk negara untuk menegakkan hukum di daerah konflik itu, dengan tuduhan yang serba miring. Tuntutan semacam ini jelas tidak bertanggung jawab. Bagi saya, semua bentuk teror harus dilawan, termasuk teror yang disponsori Amerika dan Israel. Yang perlu dikritik adalah jika pihak kepolisian tidak profesional dan melanggar prosedur dalam melaksanakan tugasnya.

Di luar itu, operasi anti-teror wajib didukung jika kita memang tidak ingin terus berada dalam lingkaran setan penuh darah. Agama sering dipakai untuk membela pelaksanaan teologi maut: berani mati sambil membunuh, karena tidak berani hidup. Islam terlalu agung untuk hanya dikorbankan membela tindakan kejam dan biadab dengan dalih dangkal yang jelas mengkhianati pesan Kitab Suci untuk menebarkan rahmat di muka bumi.