2008

Langkah-langkahnya sebagai berikut :

1. Masuk ke menu Control Panel.

2. Pilih Phone and Modem Options

3. Pilih Modem

4. Tekan Add

5. Beri tanda (a) “Don’t detect my modem: I will select it from a list”

6. Tekan Next

7. Pilih Standard 33600 bps Modem

8. Tekan Next

9. Pilih port dari kabel data yang digunakan biasanya COM1 untuk kabel data namun jika tidak tersedia pilih COM lain

10. Tekan Next

11. Instalasi modem sudah selesai

12. Tekan Finish

13. Kembali ke tampilan Phone and Modem Options

14. Pilih Modem yang sudah terinstall tadi yaitu Standard 33600 bps Modem

15. Tekan Properties

16. Pilih Diagnostics

17. Tekan Query Modem (pastikan bahwa proses query telah sukses)

18. Setelah itu pilih Advanced

19. Masukan Extra Settings : AT+CGDCONT=1,"IP","indosatgprs.com"

20. Tekan OK

21. Kembali ke tampilan Phone and Modem Options

22. Tekan OK lalu keluar dari menu Control Panel

23. Langkah selanjutnya : Pilih Start à Programs à Accessories à Comunication à Network Connection

24. Pilih Creat a new connection

25. Akan muncul tampilan New Connection Wizard

26. Tekan Next

27. Pilih Connect to the Internet

28. Tekan Next

29. Pilih Set up my connection manually

30. Tekan Next

31. Pilih Connect using a dial-up modem

32. Isi ISP Name : indosatgprs

33. Tekan Next

34. Isi Phone number : *99***1#

35. Tekan Next

36. Pilih Create this connection for : Anyone’s use

37. Tekan Next

38. User name dan password = indosat

39. Tekan Next

40. Beri tanda (a) pada Add a shortcut to this connection to my deskstop

41. Tekan Finish


  1. Setting : Volume Base : Duration Base
  2. Connection name : Indosatgprs : Indosatgprs
  3. Data Bearer : Packet Data : Packet Data
  4. APN : Indosatgprs : Indosatgprs
  5. Username : Indosat : Indosat@durasi
  6. Prompt Pasword : No : No
  7. Pasword : Indosat : Indosat@durasi
  8. Home Page : http://wap.indosat.com : http://wap.indosat.com
  9. Proxy Server Address : 10.19.19.19 : 10.19.19.19
  10. Proxy Port Number : 8080 : 8080


Koneksi Handphone dengan PC Windows XP melalui Kabel Data

Posted on

Wednesday, December 24, 2008


Hari raya Idul Fitri telah kita lewati, bulan penuh makna dan memberi hikmah. Buat saya hikmah Idul Fitri akan berbeda beda bagi tiap orang. Ada yang merasa terlahir kembali, hidup dengan semangat dan gairah baru yang lebih positif dari sebelumnya atau idul fitri tahun ini malah menjadi petaka bagi beberapa orang.

Setiap hari raya Idul Fitri terutama di Indonesia sudah menjadi tradisi untuk mudik, bagi bagi ang paw, baju baru, have fun deh pokoknya. Tidaklah salah melewati hari raya Idul Fitri dan bersenang senang karenanya, hanya saja jika berlebihan tentu hasil yang diperoleh tidaklah menyenangkan.

Bagi beberapa orang jika mudik selalu ingin menunjukkan keberhasilannya alias pamer, padahal kenyataanya tidak atau belum sukses akhirnya maksa ngutang buat merombak penampilan lagaknya orang sukses. Badan tidak fit maksa nyetir, ngantuk dan celaka, sebulan jarang makan tiba lebaran makan berlebih maka sakit yang diperoleh. Semua yang berlebihan tidaklah menyenangkan.

Belum lagi arus urbanisasi ke kota besar seperti Jakarta dan Surabaya saat lebaran usai meningkat dengan tajam. Datang ke kota besar untuk mengadu nasib...nasib kok diadu??? Bukankah nasib menjadi ketentuan ALLAH SWT???

Mudik dan memohon maaf terutama kepada orang tua atau menziarahi makamnya adalah kegiatan baik adanya. Silahturahmi dengan keluarga besar dan teman juga baik adanya. Tetapi berlebihannya sikap yang akan menghapus hikmah idul fitri.

Sudah menjadi tabiat buat manusia seperti saya yang pasti entah disengaja atau tidak kesalahan akan terjadi karena kekurang yang melekat. Dan sudah menjadi hal yang pasti tiap tahun selama kita hidup puasa Ramadhan akan ada dan Hari raya Idul Fitri bisa dinikmati. Jadi saya melewatinya dengan daya upaya untuk tidak berlebihan.

Trafic naik karena postingan ramadhan, THR datang, transferan paypal masuk...hihihihi, semangat baru muncul, inilah Hikmah Idul Fitri. Bagaimana Hikmah Idul Fitri anda tahun ini????

Marx mengkritik agama sebagai refleksi keluhan mahluk yang tertindas, hati dunia yang tidak berperasaan dan jiwa dari kondisi yang mati. Sehingga ia kemudian menyimpulkan jika agama dan segala aktivitas sakralnya adalah candu masyarakat.

Hal ini barangkali disebabkan karena Marx menafsirkan agama berdasarkan realitas intitusi keagamaan pada masanya bukan berdasarkan pada prinsip idealitasnya. Pada masanya, sekitar abad ke-19, intitusi keagamaan memiliki pengaruh kuat di Eropa Barat namun keberadaannya tidak mampu menciptakan masyarakat yang lebih baik. Aktivitas suci dan berbagai bentuk perayaan menjadi sarana meninabobokan masyarakat dalam penderitaan serta menanamkan kepatuhan terhadap sistem kapitalisme yang menindas. Turut menciptakan ruang sakral imajiner, menutupi ruang real profan yang penuh kebusukan.

Namun prinsip demikiankah yang sesungguhnya dimiliki agama dalam bentuk idealitasnya? Apakah agama sepenuhnya tidak memiliki semangat humanitas, yang terjetawahkan melalui kesadaran akan adanya Tuhan?

Oleh sebab itu melalui tulisan ini saya mencoba menginterpretasi salah satu bentuk aktivitas suci agama, yakni Hari Raya Idul Fitri, perayaan umat Islam yang berlangsung di akhir bulan suci Ramadhan, dalam kaitannya mencari makna humanisme dibaliknya. Sesungguhnya agama dan berbagai bentuk aktivitas sakralnya tidak selalu merusak determinasi kesadaran masyarakat terhadap realitas namun dapat meneguhkan esensi keberadaannya dalam hubungannya dengan manusia lainnya (Otherness) yang dijiwai spirit kemanusiaan, yang akan coba kita lihat dari makna yang ada dibalik perayaan Hari Raya Idul Fitri.

Hermeneutika Keseharian
Saya mencoba melakukan penafsiran terhadap makna di balik Hari Raya Idul Fitri melalui pendekatan Hermeneutika Ontologi ala Gadamer. Adapun akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata herme>neuin yang berarti menafsirkan dan kata benda herme>neia, interpretasi (Palmer, 2003).

Hermeneutika pada awalnya merujuk pada prinsip-prinsip untuk menafsirkan Bibel. Orientasi hermeneutika awal adalah untuk mengangkat makna dari teks pada Bibel sebagaimana makna yang ada di benak penulisnya. Namun hermeneutika kemudian berkembang menjadi penafsiran objektif juga terhadap berbagai bentuk karya sastra non-Bibel. Oleh sebab itu hermeneutika memerlukan pemahaman terhadap gramatikal teks sebagaimana sebuah bahasa digunakan pada masa si penulis, kondisi psikologi dan latar belakang sejarah penulis untuk membantu mengangkat makna objektif penulis yang tersembunyi di balik teks (Palmer, 2003).

Namun dalam ranah filsafat fenomenologi persoalan hermeneutika meluas kepada persoalan penafsiran realitas kehidupan untuk memperoleh sebuah makna yang otentik dari manusia. yakni interaksi pengada dengan pengada lainnya untuk mengkonstruksi makna dari adanya. Sehingga hermeneutika menjadi sebuah aktivitas eksistensi hakiki manusia untuk memaknai keberadaannya dan segala sesuatu yang ada disekitarnya.

Oleh Gadamer, mengacu pada pendekatan fenomenologi menolak pemahaman objektif terhadap analisis teks, maupun materi ekspresi kebudayaan lainnya. Manusia dibatasi ekspresi bahasa yang berbeda sesuai dengan masanya, sebagaimana Weittgenstein mengkonsepsikan bahasa alat bagi manusia untuk menciptakan kesadaran manusia terhadap dunia, di mana bahasa memiliki aturan permainan yang tidak dipahami oleh mereka yang berada di luar aparatus pengunanya.

Maka proses pemahaman adalah proses penyatuan horizon antara penafsir dan pemilik ekpresi, melalui teks dan materi kebudayaan lain yang merepresentasikan entitas kemanusiaan. Melalui proses dialog penafsir membiarkan pemiliki ekspresi kebudayaan berbicara mengenai dirinya kemudian si penafsir memproyeksikan makna terhadap materi kebudayaan tersebut berdasarkan batas-batas horizon kesadarannya, yang tidak luput dari berbagai prasangka. Oleh sebab itu pemahaman bukan hanya suatu reproduksi melainkan juga suatu tindakan produktif (Howard, 2000).

Maka saya mencoba menafsirkan makna dibalik Hari Raya Idul Fitri sebagai sebuah bentuk ekpresi kebudayaan, mengacu pada world view dari umat Islam. Melalui hermeneutika saya mencoba memahami Idul Fitri melalui informasi yang berhasil saya kumpulkan sebagai awal dimulainya sebuah dialog. Kemudiaan saya menafsirkannya dalam horizon kesadaran sebagai seorang non-muslim.

Saya menekankan aspek dialog mengingat adanya keterbatasan untuk memahami secara utuh makna Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam itu sendiri, yang terkaitnya game of language keIslaman dengan berbagai kompleksitas pra-konsepsi sadar maupun alam ketidaksadaran yang serta merta menjadi aturan permain bahasa.

Puasa dan Sakralitas Idul Fitri
Perayaan Idul Fitri terkait dengan Bulan suci Ramadhan yang mewajibkan seluruh umat beragama Islam melakukan puasa. Dimana ibadah puasa menjadi salah satu pilar peribadatan umat Islam yang biasa disebut Rukun Islam, yang berlangung pada bulan Ramadhan, bulan ke-9 pada tahun Islam, bulan dimana diyakini turunnya Al’Quran sebagai pentunjuk kepada manusia (Surat 2. AL BAQARAH - Ayat 185) . Sehingga disebut juga sebagai bulan penuh rahmat.

Bulan puasa dimaknai sebagai momen di mana umat Islam melatih diri tidak hanya melawan nafsu dan keinginan daging namun juga ambisi pribadi, untuk menggiring ke arah kedewasaan. Puasa juga menjadi sarana untuk melatih diri menuju keseimbangan fisik moral dan spritual. Dengan demikian melalui aktivitas suci ini umat Islam diharapkan semakin dekat dengan Tuhan dan peka terhadap sesama (Boisard, 1980).

Dan akhir dari masa-masa perjuangan, untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu untuk mencapai sebuah kesempurnaan, inilah umat Islam merayakan hari Hari Raya Idul Fitri, sebagai hari kemenangan setelah berpuasa selama sebulan penuh. Idul Fitri secara etimologi dapat juga diartikan sebagai kembali suci, sehingga manusia pasca bulan puasa dipahami sebagai manusia baru yang telah disucikan.

Perayaan kemenangan ini disimbolisasikan dengan aktivitas takbiran, sebagai sebuah parade kebahagiaan besar, sebagai momen keberhasilan transendental manusia mengatasi kelemahan sisi kemanusiannya yang hakiki. Dan kesadaran baru terhadap penderitaan sesama, dampak perubahan diri, diekspresikan melalui pemberian zakat kepada mereka yang tidak mampu.

Analisis Hermeneutika terhadap Hari Raya Idul Fitri

Dari perspektif hermenuetika Hari Raya Idul Fitri dapat ditafsirkan sebagai hari kemenangan manusia dari segala keterikatannya terhadap hawa nafsu serta mengalami penyatuan dengan Tuhan dan sesama. Dalam tradisi Kejawen hawa nafsu menjadi penghambat kesatuan manusia dengan Tuhan. Hawa nafsu dapat membutakan mata batin dalam menentukan jalan kebenaran ilahi yang bersifat meta-eksistensi duniawi. Sehingga pengekangan hawa menjadi mediasi pemurnian dimensi spiritual mendorong manusia mampu berinteraksi dengan sang ilahi.

Kenikmatan pemuasan hawa nafsu dapat membuat manusia terjerat dalam reduksi dimensi kehidupan, semata-mata hanya demi kesenangan ragawi sehingga pada akhirnya terjerat pada pemahaman dunia yang materialistis belaka. Tuhan menjadi terlupakan dalam segala aspek kehidupan manusia karena hidup menjadi tersekulerisasi dalam perspektif material, memiliki hukum yang lepas dari campur tangan Tuhan. Namun dampaknya adalah manusia mengalami kekeringan eksistensi, ada sesuatu yang raib namun tidak terjelaskan, menciptakan kehidupan tak bermakna, memunculkan kegilaan, ketakutan untuk hidup, kerusakan berbagai interaksi kemanusiaan ketika garis pemisah antara pemuasan hawa nafsu dan hasrat egoisme diri sangat tipis.

Oleh karena itu Hari Raya Idul Fitri juga dipahami sebagai hari kemenangan sesungguhnya, kembalinya kesadaran manusia akan Tuhan ketika hawa nafsunya terdeklanasi. Hal ini juga didukung kesadaran akan keterbatasan keberadaannya, tubuh yang segera lemah ketika tubuh kekurangan makanan dan minuman seakan mengingatkan manusia akan kerentaan eksistensinya. Kelemahannya juga mengingatkan keberadaannya sebagai mahluk yang bergantung terhadap segala sesuatu disekelilingnya. Ia tidak otonom, bahkan rentan terhadap ancaman bahkan kematian. Hal ini menyadarkan akan kebutuhannya akan Tuhan sebagai yang sesuatu Yang Maha Sempurna dan Otonom, juga mengingatkan pada kematian dan keterbatasan eksistensinya. Kematian adalah sebuah kepastian namun kemanakah ia kelak?

Disamping itu rasa lapar, penderitaan fisik juga mengingatkan manusia akan ketersiksaan sesamanya yang papa. Sehingga Hari Raya Idul Fitri juga menjadi momen kemenangan atas egoistis, yang membuat manusia mengingat akan penderitaan sesamannya. Id terkendalikan demikian juga kebutuhan terendah tersublimasikan pada kebutuhan lebih tinggi yang merepresentasi nilai-nilai cinta, altrusitik dan keperdulian.

Solidaritas kemanusiaan menjadi spirit yang turut ditumbuhkan di Hari Raya Idul Fitri ketika manusia menjadi sama dalam kepapaannya di masa bulan suci Ramadhan. Tidak ada manusia yang lepas dari kewajiban berpuasa, semuanya merasakan lapar, eksistensi penuh kelemahan, kesadaran akan pengalaman yang sama tentunya menumbuhkan kesadaran akan identitias kemanusiaan yang hakiki.

Pemberian zakat pada Hari Raya Idul Fitri menjadi ekspresi kesadaran akan prinsip kemanusiaan universal, bukan suatu aktivitas subordinat. Ketika masing-masing kembali pada realitas kehidupannya semula, namun telah terbentuk kesadaran penuh kebersamaan dalam hati sanubari setiap manusia walaupun kenyataan fisik dan kondisi sosial yang berbeda. Zakat menjadi simbosisasi kesadaran tanggung jawab terhadap kenyataan realitas fisik sesama manusia, yang melingkupi esensi manusia universal, yang kadang tidak bersahabat. Meskipun tidak menutupi kenyataan hakikat keberadaan manusia sebagai sebuah misteri yang bersifat transendental.

Maka disimpulkan Hari Raya Idul Fitri dapat dipahami sebagai pemurnian kesadaran manusia dari kekangan hawa nafsu yang menjernihkan kembali hubungan spritual manusia dengan Tuhan dan menanamkan spirit solidaritas terhadap sesama yang juga turut diperkuat oleh hal yang pertama. Kebersamaan dan humanitas tidak bertolak belakang dengan esensi dari Hari Raya Idul Fitri bahkan juga turut serta melembagakannya.

Kesimpulan
Melalui pendekatan hermeneutika sebagai yang telah diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan agama dan segala bentuk ritualitasnya tidak selalu bertentangan dengan prinsip-prinsip humanisme dan prinsip pembebasan dari ketertindasan. Tidak juga bersifat destruktif. Agama dapat memberikan kebermaknaan hidup, yang kadang hilang dalam masyarakat modern, ketika interaksi dengan Tuhan adalah sesuatu yang non-eksak meskipun dapat dirasakan keberadaannya. Agama juga menanamkan sebuah prinsip solidaritas, menyingkapkan manusia dari ruang profan yang mengkotak-kotakkannya dalam berbagai habitus. Yang dibuktikan melalui analisis terhadap perayaan Hari Raya Idul Fitri.

Hanya saja dalam prakteknya sering terjadi gap antara apa yang real dengan yang ideal. Orientasi solidaritas seringkali dibatasi dalam lingkup ikatan keagamaan semata, pemberian zakat dapat menjadi ajang penonjolan ego. Pelaksanaan puasa bagi sebahagian orang sering didasarkan adanya ancaman sanksi sosial, sehingga melakukannya bukan karena kesadaran pribadi melainkan karena keterpaksaan, sehingga diragukan ia akan dapat mencapai pemahaman ideal akan makna dari Hari Raya Idul Fitri itu sendiri.

Namun hal itu tidak menutup kenyataan bahwa agama dan berbagai aktivitas sakralnya dapat menjadi sesuatu yang melembagakan prinsip-prinisp humanisme dan serta merta menolak generalisasi inferioritas agama sebagaimana yang dipahami oleh Marx

Hikmah serta Interpretasi tentang 1 Syawal

Posted on

Monday, October 6, 2008



24 Januari, setiap tanggal itu kau selalu didekatku saat itu, aku selalu dapat melihat hamparan luas harapan dalam mata indahmu, menemukan tiap motivasi dalam setiap irama suaramu dan merasakan kedamaian dengan hangatnya suasana bersamamu

Angka 24, huruf F, Liverpool, The Reason, Pretty Boy, The Day You Went Away dan yang paling menyebalkan adalah lukisan wajahmu dihatiku yang membuatku semakin terpuruk dalam kehidupanku

24 Januari saat kau tinggalkan aku dan aku meninggalkanmu, maka ingatlah….. carilah seseorang yang mungkin lebih gila dari aku, lebih bodoh dari aku, lebih keras kepala dari aku, lebih egois dari aku dan lebih munafik dari aku karena terlalu menyayangimu dan sangat keterlaluan dalam menjaga dan berkorban demi kebahagiaanmu

Lanjut

24 Januari

Posted on

Sunday, September 21, 2008

“Hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maidah : 3)

“Dan mereka yang berjuang dijalan-Ku (kebenaran), maka pasti Aku tunjukkan jalannya (mencapai tujuan) sesungguhnya Tuhan itu cinta kepada orang-orang yang selalu berbuat (progresif). (QS. Al-Ankabut : 69)

Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna hadir di bumi diperuntukkan untuk mengatur pola hidup manusia agar sesuai fitrah kemanusiaannya yakni sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata ke hadirat-Nya.

Irodat Allah Subhanahu Wata’ala, kesempurnaan hidup terukur dari personality manusia yang integratif antara dimensi dunia dan ukhrawi, individu dan sosial, serta iman, ilmu dan amal yang semuanya mengarah terciptanya kemaslahatan hidup di dunia baik secara induvidual maupun kolektif.

Secara normatif Islam tidak sekedar agama ritual yang cenderung individual akan tetapi merupakan suatu tata nilai yang mempunyai komunitas dengan kesadaran kolektif yang memuat pemaham/kesadaran, kepentingan, struktur dan pola aksi bersama demi tujuan-tujuan politik.

Substansi pada dimensi kemasyarakatan, agama memberikan spirit pada pembentukan moral dan etika. Islam yang menetapkan Tuhan dari segala tujuan menyiratkan perlunya meniru etika ke-Tuhanan yang meliputi sikap rahmat (Pengasih), barr (Pemula), ghafur (Pemaaaf), rahim (Penyayang) dan (Ihsan) berbuat baik. Totalitas dari etika tersebut menjadi kerangka pembentukan manusia yang kafah (tidak boleh mendua) antara aspek ritual dengan aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi dan sosial budaya).

Adanya kecenderungan bahwa peran kebangsaan Islam mengalami marginalisasi dan tidak mempunyai peran yang signifikan dalam mendesain bangsa merupakan implikasi dari proses yang ambigiutas dan distorsif. Fenomena ini ditandai dengan terjadinya mutual understanding antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Penempatan posisi yang antagonis sering terjadi karena berbagai kepentingan politik penguasa dari politisi-politisi yang mengalami split personality.

Kelahiran HMI dari rahim pergolakan revolusi phisik bangsa pada tanggal 5 Februari 1947 didasari pada semangat mengimplementasikan nilai-nilai ke-Islaman dalam berbagai aspek ke-Indonesiaan.

Semangat nilai yang menjadi embrio lahirnya komunitas Islam sebagai kelompok kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (pressure group). Dari sisi kepentingan sasaran yang hendak diwujudkan adalah tertuangnya nilai-nilai tersebut secara normatif pada setiap level kemasyarakatan, sedangkan pada posisi penekan adalah keinginan sebagai pejuang Tuhan (sabilillah) dan pembelaan mustadh’afin.

Proses internalisasi dalam HMI yang sangat beragam dan suasana interaksi yang sangat plural menyebabkan timbulnya berbagai dinamika ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dengan didasari rasionalisasi menurut subyek dan waktunya.

Pada tahun 1955 pola interaksi politik didominasi pertarungan ideologis antara nasionalis, komunis dan agama (Islam). Keperluan sejarah (historical necessity) memberikan spirit proses ideologisasi organisasi. Eksternalisasi yang muncul adalah kepercayaan diri organisasi untuk “bertarung” dengan komunitas lain yang mencapai titik kulminasinya pada tahun 1965.

Seiring dengan kreatifitas intelektual pada Kader HMI yang menjadi ujung tombak pembaharuan pemikiran Islam dan proses transformasi politik bangsa yang membutuhkan suatu perekat serta ditopang akan kesadaran sebuah tanggung jawab kebangsaan, maka pada Kongres X HMI di Palembang, tanggal 10 Oktober 1971 terjadilah proses justifikasi Pancasila dalam mukadimah Anggaran Dasar.

Orientasi aktivitas HMI yang merupakan penjabaran dari tujuan organisasi menganjurkan terjadinya proses adaptasi pada jamannya. Keyakinan Pancasila sebagai keyakinan ideologi negara pada kenyataannya mengalami proses stagnasi. Hal ini memberikan tuntutan strategi baru bagi lahirnya metodologi aplikasi Pancasila. Normatisasi Pancasila dalam setiap kerangka dasar organisasi menjadi suatu keharusan agar mampu mensuport bagi setiap institusi kemasyarakatan dalam mengimplementasikan tata nilai Pancasila.

Konsekuensi yang dilakukan HMI adalah ditetapkannya Islam sebagai identitas yang mensubordinasi Pancasila sebagai azas pada Kongres XVI di Padang, Maret 1986.

Islam yang senantiasa memberikan energi perubahan mengharuskan para penganutnya untuk melakukan inovasi, internalisasi, eksternalisasi maupun obyektifikasi. Dan yang paling fundamental peningkatan gradasi umat diukur dari kualitas keimanan yang datang dari kesadaran paling dalam bukan dari pengaruh eksternal. Perubahan bagi HMI merupakan suatu keharusan, dengan semakin meningkatnya keyakinan akan Islam sebagai landasan teologis dalam berinteraksi secara vertikal maupun horizontal, maka pemilihan Islam sebagai azas merupakan pilihan dasar dan bukan implikasi dari sebuah dinamika kebangsaan.

Demi tercapainya idealisme ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, maka HMI bertekad Islam dijadikan sebagai doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara integralistik, trasedental, humanis dan inklusif. Dengan demikian kader-kader HMI harus berani menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip demokrasi tanpa melihat perbedaan keyakinan dan mendorong terciptanya penghargaan Islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki dan menyerahkan semua demi ridho-Nya.


TAFSIR TUJUAN

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

I. PENDAHULUAN

Tujuan yang jelas diperlukan untuk suatu organisasi, hingga setiap usaha yang dilakukan oleh organisasi tersebut dapat dilaksanakan dengan teratur. Bahwa tujuan suatu organisasi dipengaruhi oleh suatu motivasi dasar pembentukan, status dan fungsinya dalam totalitas dimana ia berada. Dalam totalitas kehidupan bangsa Indonesia, maka HMI adalah organisasi yang menjadikan Islam sebagai sumber nilai. Motivasi dan inspirasi bahwa HMI berstatus sebagai organisasi mahasiswa, berfungsi sebagai organisasi kader dan yang berperan sebagai organisasi perjuangan serta bersifat independen.

Pemantapan fungsi kekaderan HMI ditambah dengan kenyataan bahwa bangsa Indonesia sangat kekurangan tenaga intelektual yang memiliki keseimbangan hidup yang terpadu antara pemenuhan tugas duniawi dan ukhrowi, iman dan ilmu, individu dan masyarakat, sehingga peranan kaum intelektual yang semakin besar dimasa mendatang merupakan kebutuhan yang paling mendasar.

Atas faktor tersebut, maka HMI menetapkan tujuannya sebagaimana dirumuskan dalam pasal 4 AD HMI yaitu :

“TERBINANYA INSAN AKADEMIS, PENCIPTA, PENGABDI YANG BERNAFASKAN ISLAM DAN BERTANGGUNG JAWAB ATAS TERWUJUDNYA MASYARAKAT ADIL MAKMUR YANG DIRIDHOI ALLAH SUBHANAHU WATA’ALA”.

Dengan rumusan tersebut, maka pada hakekatnya HMI bukanlah organisasi massa dalam pengertian fisik dan kualitatif, sebaliknya HMI secara kualitatif merupakan lembaga pengabdian dan pengembangan ide, bakat dan potensi yang mendidik, memimpin dan membimbing anggota-anggotanya untuk mencapai tujuan dengan cara-cara perjuangan yang benar dan efektif.

II. MOTIVASI DASAR KELAHIRAN DAN TUJUAN ORGANISASI

Sesungghnya Allah SWT telah mewahyukan Islam sebagai agama yang Haq dan sempurna untuk mengatur umat manusia agar berkehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai Khalifatullah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadirat-Nya.

Kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia tersebut adalah kehidupan yang seimbang dan terpadu antara pemenuhan kalbu, iman dan ilmu, dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan ukhrowi. Atas keyakinan ini, maka HMI menjadikan Islam selain sebagai motivasi dasar kelahiran juga sebagai sumber nilai, motivasi dan inspirasi. Dengan demikian Islam bagi HMI merupakan pijakan dalam menetapkan tujuan dari usaha organisasi HMI.

Dasar motivasi yang paling dalam bagi HMI adalah ajaran Islam. Karena Islam adalah ajaran fitrah, maka pada dasarnya tujuan dan mission Islam adalah juga merupakan tujuan daripada kehidupan manusia yang fitri, yaitu tunduk kepada fitrah kemanusiaannya.

Tujuan kehidupan manusia yang fitri adalah kehidupan yang menjamin adanya kesejahteraan jasmani dan rohani secara seimbang atau dengan kata lain kesejahteraan materiil dan kesejahteraan spirituil.

Kesejahteraan yang akan terwujud dengan adanya amal saleh (kerja kemanusiaan) yang dilandasi dan dibarengi dengan keimanan yang benar. Dalam amal kemanusiaan inilah manusia akan dapat kebahagian dan kehidupan yang sebaik-baiknya. Bentuk kehidupan yang ideal secara sederhana kita rumuskan dengan “kehidupan yang adil makmur”.

Untuk menciptakaan kehidupan yang demikian, Anggaran Dasar menegaskan kesadaran Mahasiswa Islam Indonesia untuk merealisasikan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Easa, Kemanusian Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Dalam Kebijaksanaan/Perwakilan serta mewujudkan Keadilan sosial bagi Seluruh Indonesia dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah SWT.

Perwujudan daripada pelaksanaan nilai-nilai tersebut adalah berupa amal saleh atau kerja kemanusiaan. Dan kerja kemanusiaan ini akan terlaksana secara benar dan sempurna apabila dibekali dan didasari oleh iman dan ilmu pengatahuan. Karena inilah hakekat tujuan HMI tidak lain adalah pembentukan manusia yang beriman dan berilmu serta mampu menunaikan tugas kerja kemanusiaan (amal saleh). Pengabdian dan bentuk amal saleh inilah pada hakekatnya tujuan hidup manusia, sebab dengan melalui kerja kemanusiaan, manusia mendapatkan kebahagiaan.

III. BASIC DEMAND BANGSA INDONESIA

Sesunguhnya kelahiran HMI dengan rumusan tujuan seperti pasal 4 Anggaran Dasar tersebut adalah dalam rangka menjawab dan memenuhi kebutuhan dasar (basic need) bangsa Indonesia setelah mendapat kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 guna memformulasikan dan merealisasikan cita-cita hidupnya. Untuk memahami kebutuhan dan tuntutan tersebut maka kita perlu melihat dan memahami keadaan masa lalu dan kini. Sejarah Indonesia dapat kita bagi dalam 3 (tiga) periode yaitu :

a) Periode (Masa) Penjajahan

Penjajahan pada dasarnya adalah perbudakaan. Sebagai bangsa terjajah sebenarnya bangsa Indonesia pada waktu itu telah kehilangan kemauan dan kemerdekaan sebagai hak asasinya. Idealisme dan tuntutan bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kemerdekaan. Oleh karena itu timbullah pergerakan nasional dimana pimpinan-pimpinan yang dibutuhkan adalah mereka yang mampu menyadarkan hak-hak asasinya sebagai suatu bangsa.

b) Periode (Masa) Revolusi

Periode ini adalah masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didoorong oleh keinginan yang luhur maka bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam periode ini yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia adalah adanya persatuan solidaritas dalam bentuk mobilitas kekuatan fisik guna melawan dan menghancurkan penjajah. Untuk itu yang dibutuhkan adalah “solidarity making” diantara seluruh kekuatan nasional sehingga dibutuhkan adanya pimpinan nasional tipe solidarity maker.

c) Periode (Masa) Membangun

Setelah Indonesia merdeka dan kemerdekaan itu mantap berada ditangannya maka timbullah cita-cita dan idealisme sebagai manusia yang bebas dapat direalisir dan diwujudkan. Karena periode ini adalah periode pengisian kemerdekaan, yaitu guna menciptakan masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur. Maka mulailah pembangunan nasional. Untuk melaksanakan pembangunan, faktor yang sangat diperlukan adalah ilmu pengetahuan.

Pimpinan nasional yang dibutuhkan adalah negarawan yang “problem solver” yaitu tipe “administrator” disamping ilmu pengetahuan diperlukan pula adanya iman/akhlak sehingga mereka mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan (amal saleh). Manusia yang demikian mempunyai garansi yang obyektif untuk menghantarkan bangsa Indonesia ke dalam suatu kehidupan yang sejahtera adil dan makmur serta kebahagiaan. Secara keseluruhan basic demand bangsa Indonesia adalah terwujudnya bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat, menghargai HAM, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dengan tegas tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 dalam alinea kedua.

Tujuan 1 dan 2 secara formal telah kita capai tetapi tujuan ke-3 sekarang sedang kita perjuangkan. Suatu masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur hanya akan terbina dan terwujud dalam suatu pembaharuan dan pembangunan terus-menerus yang dilakukan oleh manusia-manusia yang beriman, berilmu pengetahuan dan berkepribadian, dengan mengembangkan nilai-nilai kepribadian bangsa.

IV. KUALITAS INSAN CITA HMI

Kualitas insan cita HMI adalah merupakan dunia cita yang terwujud oleh HMI di dalam pribadi seorang manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Kualitas tersebut sebagaimana dalam pasal tujuan (pasal 4 AD HMI) adalah sebagai berikut :

1. Kualitas Insan Akademis.

a. Berpendidikan Tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan kritis.

b. Memiliki kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui dan dirahasiakan. Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan kesadaran

c. Sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu pilihannya, baik secara teoritis maupun tekhnis dan sanggup bekerja secara ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan.

2. Kualitas Insan Pencipta : Insan Akademis, Pencipta.

a. Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang ada dan bergairah besar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan bersikap dengan bertolak dari apa yang ada (yaitu Allah). Berjiwa penuh dengan gagasan-gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaharuan.

b. Bersifat independen dan terbuka, tidak isolatif, insan yang menyadari dengan sikap demikian potensi kreatifnya dapat berkembang dan menentukan bentuk yang indah-indah.

c. Dengan ditopang kemampuan akademisnya dia mampu melaksanakan kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran islam.

3. Kualitas Insan Pengabdi : Insan Akdemis, Pencipta, Pengabdi.

a. Ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan orang banyak atau untuk sesama umat.

b. Sadar membawa tugas insan pengabdi, bukan hanya membuat dirinya baik tetapi juga membuat kondisi sekelilingnya menjadi baik.

c. Insan akdemis, pencipta dan mengabdi adalah yang bersungguh-sungguh mewujudkan cita-cita dan ikhlas mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesamanya.

4. Kualitas Insan yang bernafaskan islam : Insan Akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam.

a. Islam yang telah menjiwai dan memberi pedoman pola fikir dan pola lakunya tanpa memakai merk Islam. Islam akan menajdi pedoman dalam berkarya dan mencipta sejalan dengan nilai-nilai universal Islam. Dengan demikian Islam telah menafasi dan menjiwai karyanya.

b. Ajaran Islam telah berhasil membentuk “unity personality” dalam dirinya. Nafas Islam telah membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split personality tidak pernah ada dilema pada dirinya sebagai warga negara dan dirinya sebagai muslim. Kualitas insan ini telah mengintegrasikan masalah suksesnya pembangunan nasional bangsa kedalam suksesnya perjuangan umat Islam Indonesia dan sebaliknya.

5. Kualitas Insan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.

a. Insan akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.

b. Berwatak, sanggup memikul akibat-akibat yang dari perbuatannya, sadar bahwa menempuh jalan yang benar diperlukan adanya keberanian moral.

c. Spontan dalam menghadapi tugas, responsif dalam menghadapi persoalan-persoalan dan jauh dari sikap apatis.

d. Rasa tanggung jawab, taqwa kepada Allah SWT, yang menggugah untuk mengambil peran aktif dalam suatu bidang dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

e. Korektif terhadap setiap langkah yang berlawanan dengan usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

f. Percaya pada diri sendiri dan sadar akan kedudukannya sebagai “khallifah fil ard” yang harus melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.

Pada pokoknya insan cita HMI merupakan “man of future insan pelopor yaitu insan yang berfikiran luas dan berpandangan jauh, bersikap terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara kooperatif bekerja sesuai dengan yang dicita-citakan. Ideal tipe dari hasil perkaderan HMI adalah “man of inovator” (duta-duta pembaharu). Penyuara “idea of progress” insan yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah SWT. Mereka itu manusia-manusia yang beriman, berilmu dan mampu beramal saleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil).

Dari lima kualitas insan cita tersebut pada dasarnya harus dipahami dalam tiga kualitas insan Cita yaitu kualitas insan akademis, kualitas insan pencipta dan kualitas insan pengabdi. Ketiga insan kualitas pengabdi tersebut merupakan insan Islam yang terefleksi dalam sikap senantiasa bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang ridhoi Allah SWT.

V. TUGAS ANGGOTA HMI

Setiap anggota HMI berkewajiban berusaha mendekatkan kualitas dirinya pada kualitas insan cita HMI seperti tersebut diatas. Tetapi juga sebaliknya HMI berkewajiban untuk memberikan pimpinan-pimpinan, bimbingan yang kondusif bagi perkembangan potensi kualitas pribadi anggota-anggota dengan memberikan fasilitas-fasilitas dan kesempatan-kesempatan. Untuk setiap anggota HMI harus mengembangkan sikap mental pada dirinya yang independen untuk itu :

1. Senantiasa memperdalam hidup kerohanian agar menjadi luhur dan bertaqwa kepada Allah SWT.

2. Selalu tidak puas dan selalu mencari kebenaran.

3. Teguh dalam pendirian dan obyektif rasional menghadapi pendirian yang berbeda.

4. Bersifat kritis dan berpikir bebas kreatif.

5. Hal tersebut akan diperoleh antara lain dengan jalan :

a. Senantiasa mempertinggi tingkat pemahaman ajaran Islam yang dimilikinya dengan penuh gairah.

b. Aktif berstudi dalam Fakultas yang dipilihnya.

c. Mengadakan tentir club untuk studi ilmu jurusannya dan study club untuk masalah kesejahteraan dan kenegaraan.

d. Selalu hadir dalam forum ilmiah.

e. Memelihara kesehatan badan dan aktif mengikuti karya bidang kebudayaan.

f. Selalu berusaha mengamalkan dan aktif dalam memngambil peran dalam kegiatan HMI.

g. Mengadakan kalaqah-kalaqah perkaderan dimasjid-masjid kampus.

Bahwa tujuan HMI sebagai dirumuskan dalam pasal 4 AD HMI pada hakikatnya adalah merupakan tujuan dari setiap Anggota HMI. Insan cita HMI adalah gambaran masa depan HMI. Suksesnya seorang anggota HMI dalam membina dirinya untuk mencapai Insan Cita HMI berarti dia telah mencapai tujuan HMI.

Insan cita HMI pada suatu waktu akan merupakan “Intelektual community” atau kelompok intelektual yang mampu merealisasi cita-cita umat dan bangsa dalam suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera spritual adil dan makmur serta bahagia (masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT).

Wabillahittaufiq wal hidayah.


TAFSIR INDEPENDENSI

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

A. PEDAHULUAN

Menurut fitrah kejadiannya, maka manusia diciptakan bebas dan merdeka. Karenanya kemerdekaan pribadi adalah hak yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari pada kemerdekaan itu. Sifat, suasana bebas dan kemerdekaan seperti diatas, adalah mutlak diperlukan terutama pada fase/saat manusia berada dalam pembentukan dan pengembangan. Masa/fase pembentukan dari pengembangan bagi manusia terutama dalam masa remaja atau generasi muda.

Mahasiswa dan kualitas-kualitas yang dimilikinya menduduki kelompok elit dalam generasinya. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis adalah ciri dari kelompok elit dalam generasi muda, yaitu kelompok mahasiswa itu sendiri. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis yang didasarkan pada obyektif yang harus diperankan mahasiswa bisa dilaksanakan dengan baik apabila mereka dalam suasana bebas merdeka, demokratis obyektif dan rasional. Sikap ini adalah yang progresif (maju) sebagai ciri daripada seorang intelektual. Sikap atas kejujuran keadilan dan obyektifitas.

Atas dasar keyakinan itu, maka HMI sebagai organisasi mahasiswa harus pula bersifat independen. Penegasan ini dirumuskan dalam pasal 6 Anggaran Dasar HMI yang mengemukakan secara tersurat bahwa “HMI adalah organisasi yang bersifat independen”, sifat dan watak independen bagi HMI adalah merupakan hak azasi yang pertama.

Untuk lebih memahani essensi independen HMI, maka harus juga ditinjau secara psikologis keberadaan pemuda mahasiswa Islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam yakni dengan memahami status dan fungsi dari HMI.

B. STATUS DAN FUNGSI HMI

Status HMI sebagai organisasi mahasiswa memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan spesialisasi tugas inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktivitas) dalam mewujudkan (final goal). Dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HMI sebagai organisasi mahasiswa maka sifat serta watak mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI. Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda terdidik yang harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai “kekuatan moral” atau moral forces yang senantiasa melaksanakan fungsi “social control”. Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh sikap independen.

Mahasiswa, setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta pembaharuan masyarakat atau “agent of social change”. Kelompok mahasiswa dengan sikap dan watak tersebut di atas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet kepemimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat yang akan datang. Oleh sebab itu fungsi kaderisasi mahasiswa sebenarnya merupakan fungsi yang paling pokok. Sebagai generasi yang harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi perwujudan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya di masa depan maka kelompok mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif dinamis dan tidak statis. Mereka bukan kelompok tradisionalis akan tetapi sebagai “duta-duta pembaharuan sosial” dalam pengertian harus menghendaki perubahan yang terus-menerus ke arah kemajuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan kebenaran itu senantiasa menyatakan dirinya serta dikemukakan melalui pembuktian di alam semesta dan dalam sejarah umat manusia. Karenanya untuk menemukan kebenaran demi mereka yang beradab bagi kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai kebenaran dan berorientasi pada masa depan dengan bertolak dari kebenaran Illahi. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran demi mewujudkan peradaban bagi kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara maka setiap kadernya harus mampu melakukan fungsionalisasi ajaran Islam.

Watak dan sifat mahasiswa seperti tersebut diatas mewarnai dan memberi ciri HMI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independen. Status yang demikian telah memberi petunjuk akan spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan ketegasan agar HMI dapat melaksanakan fungsinya sebagai organisasi kader, melalui aktivitas fungsi kekaderan. Segala aktivitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dan komit dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong dan memberikan kesempatan berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (hanief) maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi kehidupan bangsa dan negaranya.

C. SIFAT INDEPENDEN HMI

Watak independen HMI adalah sifat organisasi yang secara etis merupakan karakter dan kepribadian kader HMI. Implementasinya harus terwujud di dalam bentuk pola pikir, pola sikap dan pola laku setiap kader HMI baik dalam dinamika dirinya sebagai kader HMI maupun dalam melaksanakan “Hakekat dan Mission” organisasi HMI dalam kiprah hidup berorganisasi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Watak independen HMI yang tercermin secara etis dalam pola pikir, pola sikap dan pola laku setiap kader HMI akan membentuk “Independensi etis HMI”, sementara watak independen HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah organisasi HMI akan membentuk “Independensi organisatoris HMI”.

Independensi etis adalah sifat independen yang pada hakekatnya merupakan sifat yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). Watak dan kepribadian kader sesuai dengan fitrahnya akan membuat kader HMI selalu setia pada hati nuraninya yang senantiasa memancarkan keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran adalah ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA. Dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi setiap kader HMI berarti pengaktualisasian dinamika berpikir, bersikap dan berprilaku baik “hablumminallah” maupun dalam “hablumminannas” hanya tunduk dan patuh dengan kebenaran.

Aplikasi dari dinamika berpikir dan berprilaku secara keseluruhan merupakan watak azasi kader HMI dan teraktualisasi secara riil melalui, watak dan kepribadiaan serta sikap-sikap yang :

· Cenderung kepada kebenaran (hanief).

· Bebas, terbuka dan merdeka.

· Obyektif, rasional dan kritis.

· Progresif dan dinamis.

· Demokratis, jujur dan adil.

Independensi organisatoris adalah watak independensi HMI yang teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah dinamika HMI baik dalam kehidupan intern organisasi maupun dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

Independensi organisatoris diartikan bahwa dalam keutuhan kehidupan nasional, HMI secara organisatoris senantiasa melakukan partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional agar perjuangan bangsa dan segala usaha pembangunan demi mencapai cita-cita semakin hari semakin terwujud. Dalam melakukan partisipasi partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional tersebut secara organisasi HMI hanya tunduk serta committed pada prinsip-prinsip kebenaran dan obyektifitas.

Dalam melaksanakan dinamika organisasi, HMI secara organisatoris tidak pernah “committed” dengan kepentingan pihak manapun ataupun kelompok dan golongan manapun kecuali tunduk dan terikat pada kepentingan kebenaran dan obyektifitas kejujuran serta keadilan.

Agar secara organisatoris HMI dapat melakukan dan menjalankan prinsip-prinsip independensi organisatorisnya, maka HMI dituntut untuk mengembangkan “kepemimpinan kuantitatif” yang berjiwa independen sehingga perkembangan, pertumbuhan dan kebijaksanaan organisasi mampu diemban selaras dengan hakikat independensi HMI. Untuk itu HMI harus mampu menciptakan kondisi yang baik dan mantap bagi pertumbuhan dan perkembangan kualitas-kualitas kader HMI. Dalam rangka menjalin tegaknya “prinsip-prinsip independensi HMI” maka implementasi independensi HMI kepada anggota adalah sebagai berikut :

· Anggota-anggota HMI terutama aktivitasnya dalam melaksanakan tugasnya harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan organisasi serta membawa program perjuangan HMI. Oleh karena itu tidak diperkenankan melakukan kegiatan-kegiatan dengan membawa organisasi atas kehendak pihak luar manapun juga.

· Mereka tidak dibenarkan mengadakan komitmen-komitmen dengan bentuk apapun dengan pihak luar HMI selain segala sesuatu yang telah diputuskan secara organisatoris.

· Alumni HMI senantiasa diharapkan untuk aktif berjuang meneruskan dan mengembangkan watak independensi etis dimanapun mereka berada dan berfungsi sesuai dengan minat dan potensi dalam rangka membawa hakikat dan mission HMI. Dan menganjurkan serta mendorong alumni untuk menyalurkan aspirasi kualitatifnya secara tepat dan melalui semua jalur pembaktian baik jalur organisasi profesional kewiraswastaan, lembaga-lembaga sosial, wadah aspirasi poilitik lembaga pemerintahan ataupun jalur-jalur lainnya yang semata-mata hanya karena hak dan tanggung jawabnya dalam rangka merealisir kehidupan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Dalam menjalankan garis independensi HMI dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, pertimbangan HMI semata-mata adalah untuk memelihara, mengembangkan anggota serta peranan HMI dalam rangka ikut bertanggung jawab terhadap negara dan bangsa. Karenanya menjadi dasar dan kriteria setiap sikap HMI semata-mata adalah kepentingan nasional bukan kepentingan golongan atau partai dan pihak penguasa sekalipun. Bersikap independen berarti sanggup berpikir dan berbuat sendiri dengan menempuh resiko. Ini adalah suatu konsekuensi dari sikap pemuda. Mahasiswa yang kritis terhadap masa kini dan kemampuan dirinya untuk sanggup mewarisi hari depan bangsa dan negara.

D. PERANAN INDEPENDENSI HMI DI MASA MENDATANG

Dalam suatu negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini maka tidak ada suatu investasi yang lebih besar dan lebih berarti dari pada investasi manusia (human investment). Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir tujuan, bahwa investasi manusia kemudian akan dihasilkan HMI adalah manusia yang berkualitas ilmu dan iman yang mampu melaksanakan tugas-tugas manusia yang akan menjamin adanya suatu kehidupan yang sejahtera material, spiritual dan adil makmur serta bahagia.

Fungsi kekaderan HMI dengan tujuan terbinanya manusia yang berilmu, beriman dan berperikemanusiaan seperti tersebut di atas maka setiap anggota HMI dimasa datang akan menduduki jabatan dan fungsi kepemimpinan yang sesuai dengan bakat dan profesinya.

Oleh karena itu hari depan HMI adalah luas dan gemilang sesuai status, fungsi dan perannya dimasa kini dan masa mendatang yang menuntut kita pada masa kini untuk benar-benar dapat mempersiapkan diri dalam menyongsong hari depan HMI yang gemilang.

Dengan sifat dan garis independen yang menjadi watak organisasi berarti HMI harus mampu mencari, memilih dan menempuh jalan atas dasar keyakinan dan kebenaran. Maka konsekuensinya adalah bentuk aktivitas fungsionaris dan kader-kader HMI harus berkualitas sebagaimana digambarkan dalam kualitas insan cita HMI. Soal mutu dan kualitas adalan konsekuensi logis dalam garis independen HMI harus disadari oleh setiap pimpinan dan seluruh anggota-anggotanya adalah suatu modal dan dorongan yang besar untuk selalu meningkatkan mutu kader-kader HMI sehingga mampu berperan aktif pada masa yang akan datang.

Wabilahittaufiq wal hidayah.

Tentang HMI

Posted on

Saturday, September 20, 2008