PENDAHULUAN

Sebagai firman Allah, al-Qur’an scsungguhnya merupakan bentuk nyata campur tangan Tuhan dalam sejarah manusia. Namun, ia tidak bermakna tanpa intervensi pikiran dan kesadaran manusia itu sendiri. Oleh karena itu, cara manusia mendekati al-Qur’an sangat berperan dalam menginterpretasikannya dan menghasilkan makna. Sudah banyak kita jumpai warisan tradisional tafsir al-Qur’an yang berlimpah dalam Islam. Sebagai akibat perkembangan baru kajian Islam di dunia dan pengaruh perkembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang semakin canggih pada umurnya, kajian terhadap al-Qur’an pun semakin membuka diri terhadap pertumbuhan metodologi dan pendekatan kontemporer.


Hermeneutika kontemporer membuka pengakuan terhadap cara baru pembacaan al-Qur’an yang menerirna fakta adanya prasangka-prasangka yang sah. Metode ini ternyata mengilhami sejumlah sarjana muslim untuk melakukan interpretasi terhadap fenomena al-Qur'an, misalnya Farid Esack.

Dalam makalah ini kami akan membahas metode hermeneutika yang dikembangkan oleh Farid Esack, yaitu hermeneutika pembebasan. Sebelumnya, kami di sini akan mengulas tentang biografi Farid Esack serta karya-karyanya dalam bentuk buku atau artikel-artikel.

A. Biografi Farid Esack

Farid Esack yang memiliki mana lengkap Maulana Farid Esack lahir tahun 1959 di Cape Town, daerah pinggiran kota Wynberg, Afrika Selatan, dari seorang ibu yang ditinggal suaminya bersama lima orang anaknya lainnya. Farid Esack bersama saudara kandung dan saudara seibu hidup terlunta-lunta di Bonteheuwel, kawasan pekerja miskin untuk orang hitam dan kulit berwarna. Ibu Farid Esack kemudian memerankan posisi ibu sekaligus ayah yang harus mencari nafkah hidup bagi enam orang anak yang masih kecil-kecil. Ibunya bekerja sebagai pencuci di tempat pencucian (laundry) untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yang kelaparan itu.

Pendidikan dasar dan menengahnya di tempuh di Bonteheuvel. Pada usia 9 tahun, ketika teman sebayanya mulai memasuki kehidupan gangster dan minuman keras, Farid Esack justru bergabung dengan Jamaah Tabligh. Usia 10 tahun dia sudah menjadi guru di sebuah madrasah lokal.[1]

Tahun 1974, Farid Esack ditahan dinas kepolisian Afrika Selatan karena dianggap merongrong pemerintahan rezim apartheid. Namun, tidak lama kemudian ia dibebaskan dan pergi ke Pakistan untuk melanjutkan studinya. Di Pakistan, Farid Esack melanjutkan studi di Seminari (Islamic College) atas dana beasiswa. Dia menghabiskan waktunya selama sembilan tahun (1974-1982) sampai mendapat gelar kesarjanaan di bidang teologi Islam dan sosiologi pada Jamî’ah al-Ulûm al-Islâmiyyah, Karachi. Setelah itu, ia pulang ke Afrika Selatan karena tidak tahan melihat negaranya sedang berjuang melawan apartheid.[2]


Tahun 1990, Farid Esack kembali ke Pakistan, melanjutkan studi di Jami’ah Abi Bakr, Karachi. Di sini dia menekuni Studi Qur’an (Qur’anic Studies). Tahun 1994, Farid Esack menempuh program Doktor di Pusat Studi Islam dan Hubungan Kristen-Muslim (Centre for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations) University of Birmingham (UK), Inggris. Puncaknya, tahun 1996, Farid Esack berhasil meraih gelar Doktor di bidang Qur’anic Studies.[3]

Farid Esack memegang peranan penting di berbagai lembaga dan organisasi, seperti The Organisation of People Aginst Sexism dan The Capé Against Racism and the World Conference on Religion and Peace. Dia juga rutin menjadi kolumnis politik di Cape Time (mingguan), Beeld and Burger (dua mingguan), koran harian South African dan kolumnis masalah sosial-keagamaan untuk al-Qalam, sebuah tabloid bulanan Muslim Afrika Selatan. Ia juga menulis di Islamica, Jurnal tiga bulanan umat Islam di Inggris serta jurnal Assalamu’alaikum, sebuah jurnal Muslim Amerika yang terbit tiga bulan sekali.

Dalam bidang akademik, Farid Esack menjabat sebagai Dosen Senior pada Department of Religius Studies di University of Western Cape sekaligus Dewan Riset project on Religion Culture and Identity. Disamping itu, ia juga pernah menjabat sebagai Komisaris untuk Keadilan Jender, dan sekarang diangkat menjadi Guru Besar Tamu dalam Studi Keagamaan (Religious Study) di Universitas Hamburg, Jerman. Esack juga memimpin banyak LSM dan perkumpulan, semisal Community Depelovment Resource Association, The (Aids) Treatment Action Campaign, Jubilee 2000 dan Advisory Board of SAFM.[4]

Saat ini, waktunya banyak dihabiskan untuk mengajar berbagai mata kuliah (wacana) yang bertalian dengan masalah keislaman dan Muslim di Afrika Selatan, teologi Islam, politik, environmentalisme dan keadilan jender di sejumlah Universitas di berbagai penjuru dunia, antara lain, Amsterdam, Cambridge, Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Birmingham, Makerere (Kampala) Cape Town dan Jakarta.

B. Karya-karya Farid Esack

Karya-karya Farid Esack sangat banya, baik berupa artikel yang ada dalam home page-nya maupun dalam bentuk buku. Adapun karya dari Farid Esack yang tertuang dalam bentuk buku, diantaranya:

1. Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression”, Oneworld: England, 1997. Edisi Indonesia: “Membebaskan yang Tertindas; Al-Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme”, terj. Watung A. Budiman, Bandung: Mizan, 2000.
2. On Being A Muslim: Finding a Religious Path in The World today”, Oneworld: England, 2000.

3. The Qur’an: a Short Introduction”, Oneworld: England, 1997. Edisi Indonesia: "Samudra Al-Qur'an", terj. Nuril Hidatyat, Jakarta: Diwa Press, 2007.


Adapun artikel Farid Esack yang ada dalam home page-nya, antar lain:[5]

1. Muslim Engaging The Other and Humanum,

2. The Unfinished Business of Our Liberation Struggle.

3. How Liberated Is Christian Liberation Theology,

4. Religio Cultural Diversity: For what and With Whom? Muslim Reflections from a Post Apartheid South Africa in the Throes of Globalization,

5. Why Celebrate Women’s Day?.

6. The Liberation Struggle in South Africa: The Bases of Our Hopes, 1988.

C. Metode Teologi Pembebasan Farid Esack

Dalam diskursus dan khazanah intelektual Islam, Afsel (Afrika Selatan) temapt Farid Esack lahir boleh dikatakan sebagai kawasan yang kurang dipertimbangkan dalam peta pemikiran Islam. Sebagaimana Islam di Asia Tenggara, atau kawasan-kawasan di luar Jazirah Arab dan Afrika bagian utara, Afsel seringkali ditempatkan sebagai periferi dalam studi-studi keislaman. Wilayah Timur Tengah adalah core-nya yang pada taraf tertentu mensimplifikasi keragaman wajah Islam – dan oleh karenanya – mengeklusi konvisinitas pemikiran keislaman yang muncul di kawasan lain. Dengan kata lain, pemikiran keislaman yang timbul di luar Arab selalu dianggap subordinat dari koordinat keilmuan Islam (the centre of Islam).

Justru di negeri yang tersohor dengan sistem apartheid inilah muncul suatu pemikiran keagamaan yang sangat tipikal dengan munculnya Maulana Farid Esack dengan organisasi The Call of Islam-nya yang berambisi mewujudkan “Islam Afsel.” Struktur penindasan yang nyaris sempurna seperti digambarkan Esack ketika melukiskan penderitaan ibunya yang tertindih tiga lapis penindasan (triple oppression): apartheid, patriarkhi dan kapitalisme, memang menjadi krisis kemanusiaan yang khas Afsel, terutama hegemoni sistem apartheid yang telah sekian lama berurat akar. Konteks lokal inilah dijadikan Esack sebagai “tempat berteologi” (locus theologicus) dengan menerjemahkan teologi sebagai wacana-praksis pembebasan kaum tertindas.

Sulit dipungkiri, peran Esack dengan perangkat organisasi pendukungnya dalam mensosialisasikan pemikiran keagamaan yang tipikal Afsel. Uniknya, pemikiran keagamaan yang digagasnya langsung merujuk pada sumber pokok ajaran Islam, yakni al-Quran, yang makin menemukan relevansinya dengan latar belakang disiplin keilmuan Esack. Apa yang dirumuskan Esack sebagai hermeneutika pembebasan al-Quran adalah merupakan catatan kaki dari produk refleksi pemikiran teologis dan pergumulan praksis dengan hegemoni, dominasi dan represi rezim apartheid yang menggencet rakyat Afsel pada umumnya.



Metode hermeneutika Esack tidak lahir dengan sendirinya tetapi di dasarkan dari berbagai pemikiran, khususnya Gueterrez, Arkoun dan Rahman.[6] Esack mengambil konsep pembebasan dari Gueterrez dan double movement Rahman untuk menjelaskan soal praksis dan semangat teks, dan mengambil konsep regresif-progresif Arkoun untuk memberikan landasan kontekstualisasi teks pada masa kekinian. Selain itu, Esack juga berbeda dengan penempatan posisi penafsiran. Dalam pola hermeneutika biasa, eksistensi teks dalam konteks (lokus penafsiran) ditentukan oleh “kuasi transformatif” yang mampu menggeser paradigma atau model cara baca terhadap teks. Akan tetapi, Esack justru menempatkan posisi sentral penafsiran pada teks partikular (prior texts) dan responsinya terhadap konteks tanggapan audiens, serta menentukan arti penting relevansi teks dalam konteks kontemporer. Sedemikian, sehingga ditemukan “makna baru” yang dibutuhkan. Yakni, makna baru yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks partikular (sosial-politik-keagamaan) Afrika Selatan. [7]

Teori hermenutika Esack ini didasarkan atas pembacaannya terhadap realitas praksis. Ketika realitas tersebut harus dirubah, karena terjadi ketimpangan, maka disana dicarikan justifikasinya dari ayat-ayat, karena semangat teks sesunguhnya adalah pembebasan dari ketimpangan. Inilah rumusan khas hermeneutika Esack yang tidak ditemukan dalam hermeneutika lainnya. konsep kerja sama Esack benar-benar di dasarkan atas pembacaannya atas realitas praksis Afrika Selatan dan metode hermenutika yang dikembangkannya. Karena itu, hasilnya memang sering berbeda atau bahkan berseberangan dengan penafsiran-penafsiran klasik. Akan tetapi, Esack tidak berarti sama sekali meninggalkan tafsir klasik. Ia tetap dan justru menggunakannya dalam upaya mendukung pemikiran dan proses hermeneutikanya.

Esack meyakini bahwa al-Qur'an diwahyukan secara progresif sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada masa pewahyuan, dan pada masa selanjutnya harus terus dibaca seperti itu. Pada tahap awal, Esack berupaya menetapkan identitas al-Qur'an sebagai sebuah wahyu yang diturunkan secara bertahap. Ini adalah satu-satunya cara untuk memahami sebagian besar garis pedomannya (huda) yang abstrak kepada kemanusiaan melintasi ruang dan masa. Prinsip tadrij atau pewahyuan secara gradual sangat penting di sini. Hal ini telah jelas dinyatakan dalam al-Qur'an sendiri pada surat al-Isra', ayat 106 dan al-Furqon ayat 32. Terdapat teknik yurisprudensial lain yang digunakan oleh para ilmuwantradisional yang menguatkan posisi ini. Teknik-teknik ini adalah asbab al-nuzul dan naskh.[8]

Asbab al-nuzul adalah suatu prinsip yang banyak digunakan dalam kajian Islam tradisional ketika menyangkut kampanye perang, biografi Nabi, dan lain-lain. Lebih dari itu, sebenarnya ia lebih berfungsi sebagai perangkat untuk membuktikan validitas kesejarahan al-Qur'an. Dalam artian, bahwa Tuhan memperhatikan dan benar-benar mewahyukan kepada masyarakat sesuai kebutuhannya.[9]


Naskh pada sisi lain, diperuntukkan bagi beragam situasi. Menurut Esack, relevansinya bagi kita di sini adalah ketika ia digunakan untuk mencabut ayat-ayat pertama untuk kepentingan yang terakhir, untuk membatalkan praktik profetik dengan sebuah perintah al-Qur'an tertentu dan akhirnya mencabut atau mengklarifikasi perintah al-Qur'an dengan praktik Nabi. Semua ini menekankan keberadaannya sebagai wahyu progresif yang, sebagaimana diyakini Esack, menampilkan kontekstualisasi sebagai metode yang divalidasi oleh para ahli hukum klasik dalam upaya mereka memahami al-Qur'an.[10]

Menurut Esack, meyakini signifikansi al-Qur'an yang abadi tidak sama dengan meyakini sebuah teks yang tak memiliki waktu dan ruang (ahistoris). Esack selalu menegaskan bahwa hermeneutika secara umum harus dipahami sebagai ilmu yang merefleksikan bagaimana sebuah kata atau peristiwa masa lalu dan budayanya bisa dipahami dan bermakna secara eksistensial pada situasi kekinian. Hermeneutika sebagai metode memahami al-Qur'an sangat mendesak penerapannya. Hal itu, menurutnya, karena umat Islam, meskipun sangat bersepakat tentang sifat divinitas al-Qur'an, memiliki perbedaan yang cukup lebar tentang peran al-Qur'an dan cara memahaminya. Dalam kerja penafsiran, hermeneutika penerimaan akan mengangkat persoalan tentang pergeseran yang terjadi dalam horizon-horison audiens yang berbeda dan transformasi antara horizon masa lalu dan masa kini tentang ekspektasi terhadap teks.

Bagi Esack, keilmuan Islam tradisional setidaknya akan memiliki tiga kendala untuk bersinergi dengan hermenutika sebagai sebuah metode memahami al-Qur'an, yaitu: Pertama, keilmuan Islam tradisional meskipun memiliki cara pemahaman tesendiri tentang kontekstualisasi dalam memahami al-Qur'an, benar-benar memegang teguh ide bahwa al-Qur'an adalah kalam Tuhan yang trans-kontekstual dan oleh karenanya qadim. Di sisi lain, desakan hermeneutika atas konteks dan kontingensi manusian dalam upaya pencarian makna menunjukkan bahwa al-Qur'an tidak berarti apapun di luar konteks sosio-historisnya, namun selamanya ia adalah sebuah teks yang memerlukan interpretasi.

Penekanan hermeneutika pada agensi manusia dalam memproduksi makna bertentangan dengan ide keilmuan tradisional yang menegaskan bahwa Tuhan bisa membekali manusia dengan sebuah pemahaman yang paling tepat dan sempurna. Esack mengatakan: "memberi peran besar kepada manusia berarti memandang bahwa makna itu sendiri merupakan sebuah pertarungan dalam relasi-relasi kuasa; ketuhanan-pun berada di dalamnya dan tak bisa dianggap transenden di luar pertarungan itu sebagai penjamin makna paling akhir."[11]

Pada satu sisi, keilmuan Islam tradisional membuat pembedaan yang ketat antara pewahyuan, penafsiran, dan penerimaan. Sementara itu, hermeneutika penerimaan, di sisi lain, tidak berusaha menemukan kehendak orisinal sang author yang tentu saja sulit diprediksi (apalagi dalam kasus Tuhan). Sebaliknya, ia mempelajari konstribusi pemahaman yang terus dan selalu berubah tentang teks.


Bagi Esack, persoalan fundamental dalam penafsiran al-Qur'an adalah tentang; oleh siapa dan pada kepentingan siapa kerja hermeneutika diperuntukkan. Memahami teks menurutnya mencakup suatu kesadaran akan tiga unsure yang saling terkait, yakni teks dan author, penafsir, dan penafsiran.[12]

Meskipun seseorang sadar akan pentingnya hermeneutika dan dengannya memahami al-Qur'an, ia masih tidak mampu secara memadai menjawab ketakutan yang dicemaskan keilmuan tradisional. Dalam hal ini, Esack memberikan seperangkat panduan yang ia sebut sebagai kunci-kunci hermeneutika untuk menafsirkan al-Qur'an. Kunci-kunci ini tidak hanya sebagai berfungsi sebagai sebuah lensa optic yang dengannya orang harus mengamati al-Qur'an, namun juga berarti sebagai pematah setiap penafsiran yang bertendensi sembarangan.

Kunci-kunci ini ketika digunakan secara seksama diharapkan akan membekali orang beriman dengan seperangkat instrument guna memahami pesan transenden al-Qur'an, walaupun, menurut Esack, tetap berujung pada perdebatan. Bagi Esack, kunci-kunci ini hendak merefleksikan bahwa praktik seseorang (praksis) akan menjadi ujian ata kepatan penafsiran seseorang. Tidak ada mukjizat dan keajaiban yang akan datang dengan menerapkan ini, ini hanya sebuah proses trial and error, namun dengan semacam kompas untuk membimbing seseorang mengarungi samudera kehidupan yang bergolak.

Kunci-kunci hermeneutika yang diajukan oleh Esack dikembangkan dari aktivitasnya sebagai seorang intelektual organik saat berjuang melawan rezim Aphartheid di Afrika Selatan. Kunci-kunci itu adalah taqwa (integritas dan kesadaran yang terkait dengan kehadiran Tuhan), tauhid (keesaan Tuhan), nas (manusia atau rakyat), mustadl'afin fi al-ard (kaum tertindas di muka bumi), 'adl dan qisth (keadilan), dan jihad (perjuangan dan praksis). Kunci-kunci tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan bagaimana hermeneutika pembebasan al-Qur’an bekerja, dengan pergeseran yang senantiasa berlangsung antara teks dan konteks berikut dampaknya terhadap satu sama lainnya.[13]

Kunci-kunci di atas juga digunakan untuk tujuan tertentu dan tersruktur; dua kunci pertama taqwa dan tauhid dimaksudkan sebagai pembangunan kriteria moral dan doktrinal yang akan menjadi lensa teologis dalam membaca al-Qur’an terutama teks-teks tentang pluralisme dan solidaritas antariman. Dua kunci berikutnya al-nas dan al-mustad’afuna fi al-ardh sebagai pengukuhan terhadap konteks atau lokasi aktifitas penafsiran, sedang dua kunci terakhir adl–qisth dan jihad merupakan refleksi dari metode dan etos yang menghasilkan dan membentuk pemahaman kontekstual tentang firman Tuhan dalam masyarakat yang diwarnai ketidakadilan.[14]


Teologi pembebasn yang diyakini Esack adalah salah satu upaya untuk melepaskan agama dari struktur sosial, politik dan keagamaan yang menuntut kepatuhan mutlak, menuju kearah kebebasan semua manusia dari segala bentuk ketidakadilan dan ketertindasan termasuk dalam hal etnis, gender, kelas dan agama. Teologi pembebasan berusaha untuk meraih hal ini lewat kolaborasi dan kerja sama dengan mereka yang mencari pembebasan sosial dan ekonomi. Sebuah teologi pembebasan Islam merujuk inspirasinya dari al-Qur'an dan perjuangan semua Nabi. Hal itu dilakukan dengan jalan memahami al-Qur'an dan keteladanan para Nabi dalam suatu proses refleksi teologis bersama dan berkesinambungan demi sepenuhnya peningkatan praksis pembebasan.


PENUTUP

Dari pemaparan di atas dapat kami simpulkan bahwa metode hermeneutika yang dikembangkan Farid Esack sebenarnya tidak berbeda dengan konsep liberation theology Gueterrez, bahkan memang diilhami dari sana. Ia tidak berangkat dari teks menuju konteks, melainkan dari konteks (praxis) baru kepada teks. Hasil pembacaan atas teks kemudian diaplikasikan kepada praxis. Karena itu, hermeneutika Esack mempunyai nilai lebih dibanding yang lain. (a) Hermeneutika Esack tidak hanya berputar pada wacana melainkan praktis. Yang penting adalah bagaimana dapat menggerakan masyarakat, bukan pada bentuk argumentasinya. (b) Hermeneutika Esack bukan penafsiran spekulatif melainkan mengarah pada tujuan tertentu, yaitu perubahan ke arah terciptanya tatanan masyarakat yang berkeadilan.

Konsep kerjasama Esack didasarkan atas kepentingan sosiologis dan teologis. Secara sosiologis, kondisi masyarakat Afrika Selatan membutuhkan kerja sama untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, sedang secara teologis didasarkan atas penafsirannya terhadap teks al-Qur’an. Menurutnya, al-Qur’an secara eksplisit dan implisit menghargai dan menerima kebenaran pada agama lain, sehingga kerja sama muslim-non muslim harus dilakukan atas dasar kesadaran teologis ini.


DAFTAR PUSTAKA

Esack, Farid, 2000. Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur'an, Liberalisme, Pluralisme. Bandung: Mizan.

Esack, Farid, 2007. Samudra Al-Qur'an. Jakarta: Mizan.

Esack, Farid, 2006. Menghidupkan Al-Qur'an; Dalam Wacana dan Prilaku. Jakarta: Insani Press

http://www.Home page Farid Esack.com

Mustaqim, Abdul, Syamsudin, Sahiron, 2002. Studi Al-Qur'an Komtemporer; Wacan Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana.

[1] http://www.Home page Farid Esack.com

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur'an, Liberalisme, Pluralisme. (Bandung: Mizan, 2000), hal. 120

[7] Ibid. hal. 121

[8] Farid Esack, Menghidupkan Al-Qur'an; Dalam Wacana dan Prilaku. (Depok: Insani Press, 2006), hal. 167

[9] Ibid. 170

[10] Farid Esack, Menghidupkan Al-Qur'an; Dalam Wacana dan Prilaku. hal. 170

[11] Opcit. hal.190

[12] Farid Esack, Samudra Al-Qur'an. (Jakarta: Mizan 2007), hal. 89

[13] Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur'an Komtemporer; Wacan Baru Berbagai Metodologi Tafsir. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hal. 200

[14] Ibid. hal. 203

Makalah Farid Esack

Posted on

Monday, February 8, 2010