TANTANGAN PENDIDIKAN ISLAM

A. PENDAHULUAN
Bagaimana mungkin kaum Muslim mengklaim hak pengakuan universal dan kehadiran global jika tetap terisolasi dan terpisah dari dunia lain? Farish A. Noor -Intelektual muda asal Malaysia- mencoba membuka mata Muslimin di dunia yang masih terlelap dalam tidur panjang dengan pertanyaan kritis di atas.
Sebagai Muslim, tentunya kita (di)harus(kan) menjawab dan mencari solusi dari permasalahan besar tersebut. Lebih jauh Beliau memaksa kita untuk instropeksi diri terhadap agama (baca: Islam) yang menurut Al-Qur’an telah disempurnakan oleh Allah SWT. Apakah Islam benar-benar telah sempurna? (terserah apabila ada yang sangsi terhadap keimanan penulis, akibat pertanyaan ini). Mampukah konsep Islam bi la hudud –Islam tanpa batas—yang menempatkan dirinya dalam realitas kekinian yang tanpa batas (borderless), plural, multikultural, dan kompleks berjalan dengan tegak? Apalagi kita sudah semakin terkepung oleh laju global yang mau tidak mau harus siap untuk menapak beriringan agar tetap eksis dan tidak tergerus oleh zaman.
Pada tahun 1980-an, cendekiawan Soedjatmoko sudah mewanti-wanti bangsa Indonesia dalam memasuki abad 21. Beliau mengatakan bahwa pendidikan menjadi “tumpuan” harapan bangsa untuk bisa bersaing di kompetisi global. SDM masa depan tidak hanya menguasai satu dua disiplin dan keahlian tertentu, melainkan beberapa bidang ilmu dan keahlian sekaligus.
Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita kembali pada devinisi awal tentang pokok bahasan yang akan dikaji. Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, istilah tantangan berakar dari kata tantang yang berarti lawan. Adapun pendidikan bermakna bimbingan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan sebagaimana dikatakan oleh A. Fatih Syuhud merupakan suatu usaha yang dilakukan individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil. Islam sebagaimana kita ketahui merupakan agama yang diturunkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW. Sedangkan globalisasi adalah suatu proses pertukaran nilai budaya yang mendunia tanpa mengenal batas-batas demografi (ilmu tentang susunan, jumlah, dan perkembangan penduduk) suatu negara.
B. ISI
1. Globalisasi dan Dampaknya dalam Pendidikan.
Globalisasi, lengkap dengan dampak positif negatifnya meniscayakan kita untuk menyelaminya. Dia datang menembus ruang dan waktu. Dari Amerika sampai Australia, semua mengalami proses ini. Lebih-lebih Indonesia. Anehnya, negara kita belum siap untuk menyambut bola api globalisasi yang terus menggelinding. Akibatnya, globalisasi menjadi kambing hitam bagi pejabat dan politisi (para pemimpin bangsa) untuk menutupi ketidakmampuan mereka (Kompas, Jum’at, 15 Agustus 2008). Di bidang ekonomi, sejumlah perusahaan industri kolaps dan gulung tikar akibat kalah berkompetisi dengan perusahaan lain yang memiliki modal lebih besar. Mantan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono mengakui Indonesia menghadapi kenyataan pahit menyangkut kekurangsiapan melaksanakan kesepakatan yang sudah dibuat sebelumnya dalam komitmen liberalisasi perdagangan. Lonjakan harga minyak dan komoditas pangan global membuat semua sektor kehidupan menderita.
Bertubi-tubi masalah juga masih mewabah dalam pendidikan kita. Dunia sekolah yang semestinya mampu menjawab tantangan global, justru ikut-ikutan terpuruk. Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan, dari 10 juta penganggur usia kerja, 55 persen berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Sebanyak 4.516.100 dari 9.427.600 orang yang masuk kategori pengangguran terbuka Februari 2008 adalah lulusan SMA, SMK, program diploma, dan universitas. Rendahnya daya adaptsi lulusan sekolah formal memenuhi tuntutan pasar kerja kian menjadi persoalan mengatasi pengangguran. Agus Suwignyo (Pedagog FIB UGM) juga memberikan data pahit tentang ambruknya Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Kita. Dia menyebitkan, hanya 50 persen dari 2.756 PTS di Indonesia saat ini yang dinyatakan “sehat” dalam hal jumlah mahasiswa, rasio dosen mahasiswa, dan ketersediaan fasilitas. Di Jawa Tengah 174 dari 323 PTS terancam ditutup karena kurang diminati mahasiswa. Di mana posisi kampus kita (INISNU)? Termasuyk dalam kategori “sehat” atau “sakit”? (batin kita yang mampu menjawab). Privatisasi dan liberalisasi pendidikan semakin mengancam eksisitensi perguruan tinggi, setelah pemerintah membuat RUU BHP (Rancangan Undang Undang Badan Hukum Pendidikan) yang hingga kini masih digodok oleh DPR dan pengesahannya tinggal menunggu waktu.
Masih terlalu banyak indikator yang menunjukkan bahwa globalisasi menjadi momok bagi (yang menyadari tentang) kehidupan.
2. Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi.
Khan (1986), mendevinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
a. Memberikan pengajaran Al Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al Qur’an dan Al Sunnah.
c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan masyarakat.
d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun ilmu pengetahuan.
f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi dan diakui secara universal.
Karena itu, yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN, akan tetapi bagaimana menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang dikaji.
Menurut Center for Moderate Muslim Indonesia, setidaknya ada tiga tantangan pokok yang dihadapi pendidikan Islam di Indonesia dalam menelusuri arus global yaitu:
1. Konformisme kurikulum dan sumber daya manusia.
Konformisme atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada menjadi kendala mendasar dalam mengembangkan kurikulum pendidikan Islam. Lembaga pendidikan dasar dan menengah masih menggunakan model kurikulum lama dengan mengandalkan pendidikan dasar agama sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat. Pembahasan yang diajarkan pun masih banyak menekankan aspek normatif dengan (mohon maaf) menegesampingkan aspek transformatif dalam konteks sosio-kultural masyarakat kita. Jangan kaget, apabila ada sekelompok ikhwan yang sudah merasa cukup hanya dengan mengkaji ilmu-ilmu keislaman yang datang dari tokoh-tokoh salaf dan menganggap tabu ilmu-ilmu lain (kontemporer) yang sebenarnya sama pentingnya. Kiranya kita perlu menata ulang pemahaman hadis Nabi Muhammad SAW; “man arod al dunya fa ‘alaihi bi al ‘ilmi, wa man aroda al’akhirota fa ‘alaihi bi al ‘ilmi, wa man ‘arodahuma fa ‘alaihi bi al ‘ilmi”.
Dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang kita pelajari dan bayangkan selama berada di tempat belajar. Indonesia tidak mungkin dilihat hanya melalui kaca mata sempit. Bagaimana kita akan mampu mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan keterbatasan kalau kita hanya belajar zaidun qo’imun (istilah penulis)? Lembaga-lembaga Islam seperti pesantren perlu melepaskan diri dari keterkungkungan dan memodernisasi sistem dan metode pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern.
2. Perubahan Sosial Politik
Iklim sosial politik kita yang tidak menentu ikut memberi warna pada dunia pendidikan Islam. Sebagai negara demokrasi, politik merupakan hal yang tak bisa terhindarkan. Bahkan, tidak sedikit ulama (pengampu pendidikan Islam) menceburkan diri dalam kancah politik praktis. Mereka yang seharusnya berperan sebagai wasit, malah ikut andil menendang bola. Lalu apa yang terjadi dengan umat yang ditinggalkannya? Santri-santrinya? Lembaga pendidikannya? (biar mereka sendiri yang menjawab).
3. Perubahan orientasi.
Sang Proklamator Bung Hatta pernah mengatakan, agama hidup di masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mempunyai dinamika dan perubahan. Oleh sebab itu, para pendidik agama pun harus bisa menangkap dan tanggap terhadap “roh” perubahan, agar Islam senantiasa compatible dengan perkembangan masyarakat. Pertanyaannya kemudian, sudahkah kita dan para tokoh agama merespon wejangan Sang Proklamator? Atau kita hanya menghormati dan mengingat beliau sebatas mengikuti rituak 17 Agustus-an tanpa mengindahkan gagasan-gagasan beliau?
Hari ini, tidak sedikit lembaga pendidikan Islam yang masih alergi dengan filsafat, bahkan ilmu sosial lainnya yang dituding sebagai bentuk hegemoni Barat di bidang ilmu pengetahuan. Kejumudan intelektual akut sedang dialami umat. Orientasi dari sekedar mendidik untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama an sich harus di re(de)konstruksi menjadi paham terhadap ilmu agama, ilmu sosial, ilmu alam, dan ilmu humaniora.
C. PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat. Semoga bisa menambah wacana ruang pikir kita terutama tentang pendidikan Islam dan globalisasi. Saran dan kritik senantiasa kami harap sebagai bahan evaluasi perbaikan. Terima kasih.

Tantangan Pendidikan Islam di Indonesia

17-January-20 http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3614_0_3_0_M
07
Membentuk ulama yang berpengetahuan dalam dan berpendirian luas serta mempunyai semangat dinamis. Hanya ulama yang seperti itulah yang bisa menjadi pendidik yang sebenarnya dalam masyarakat.” (Kutipan Pidato Hatta berjudul “Sifat Sekolah Tinggi Islam”
saat pembukaan STI di Yogyakarta 10 April 1946)
Pendidikan Islam di Indonesia selalu dihadapkan pada tantangan-tantangan serius yang membutuhkan perhatian ekstra dari pemerintah dan kalangan yang berkecimpung di dunia pendidikan. Dewasa ini, pendidikan Islam setidaknya menghadapi empat tantangan pokok. Pertama, konformisme kurikulum dan sumber daya manusia; kedua, implikasi perubahan sosial politik; ketiga, perubahan orientasi; dan keempat, globalisasi. Semua tantangan pendidikan Islam tersebut terkait satu sama lain.
Musuh Kreativitas
Konformisme, atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada, merupakan tantangan pendidikan di manapun. Konformisme adalah musuh utama kreatifitas. Padahal, kreatifitas sangat dibutuhkan untuk terus memperbarui keadaan pendidikan. Jepang yang dikenal dengan sistem pendidikan yang ketat justru sejak 1980-an meninjau ulang pendidikan mereka yang dianggap terjebak konformitas. Kreatifitas yang merupakan “roh” pendidikan dinilai sudah lama tercerabut sehingga hal itu sangat mengkhawatirkan pemerintah Jepang.
Pendidikan Islam yang sudah “tertinggal” (dibandingkan pendidikan yang berorientasi sekuler) malah juga terjebak pada konformisme. Ini tentu suatu kondisi yang lebih paradoks. Konformisme biasanya terjadi pada suatu kondisi yang sudah mapan (established), akan tetapi hal ini justru terjadi pada konteks pendidikan Islam yang bergerak lamban. Bisa dibayangkan, implikasi lebih lanjut dari konformisme pendidikan Islam.
Kurikulum yang kini dijalankan di lembaga pendidikan Islam, khususnya pada pendidikan dasar dan menengah, masih banyak menggunakan model lama. Pendidikan dasar agama masih menjadi andalan, sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat, akan tetapi hal ini saja tidak cukup. Harus diikuti dengan bekal pengetahuan lainnya yang kontekstual dengan perkembangan sosial. Sekalipun di lembaga tertentu ada pembaruan kurikulum, namun sifatnya masih parsial. Secara keseluruhan kurikulum pendidikan Islam masih konservatif.
Implikasinya sangat serius ketika para lulusannya (SDM) menghadapi perubahan di luar dunia pendidikan mereka. Dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang mereka pelajari dan bayangkan selama berada di tempat belajar-mengajar tadi. Pluralitas sosial dan kemanusiaan di tengah masyarakat membuat mereka gagap. Indonesia yang mereka diami rupanya sebuah entitas yang berwarna. Kebangsaan ini rupanya tak bisa dilihat secara monolitik, misal dari sudut pandang umat Islam saja. Di sisi lain, kelompok sosial yang merupakan produk pendidikan sekuler, dan mereka umumnya non-muslim, justru lebih adaptif, responsif, serta menguasai tren iptek.
Perubahan sosial politik ikut memberi ‘warna’ pendidikan Islam. Label sebagai institusi pendidikan Islam ikut mempengaruhi persepsi publik terhadap posisi lembaga pendidikan Islam dalam konteks perubabahn sosial politik. Ironisnya, lembaga pendidikan Islam kerap dijadikan “kendaraan” oleh para petualang politik mencari dukungan. Setelah dukungan suara didapatkan, kenyataannya lembaga pendidikan Islam tadi tetap tidak banyak berubah. Realitas seperti ini dikhawatirkan memandulkan gerak pendidikan agama. Visi pendidikan Islam akhirnya sulit berubah dari lembaga yang hanya mendidik para calon ulama, dalam konotasinya yang ortodoks.
Paradoks lainnya berkaitan dengan stigma baru yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama. Dewasa ini lembaga pendidikan Islam mendapat citra baru, yakni mengajarkan radikalisme. Padahal kalau diperiksa tidak semua pesantren mengajarkan pendidikan dengan orientasi yang mengarahkan peserta didik berbuat radikal. Islam agama damai dan menyejukkan (hanif) mesti tetap menjadi pesan pokok pengajaran mulai dari tingkat ibtidaiyah sampai perguruan tinggi. Radikalisme dalam pengajaran biasanya memunculkan radikalisme dalam tindakan.
Perubahan Orientasi
Perubahan orientasi pendidikan Islam sudah menjadi keniscayaan dan tuntutan zaman, terlebih di era globalisasi dewasa ini. Orientasi dari sekedar mendidik mereka untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama an sich haruslah diubah menjadi paham terhadap ilmu agama sekaligus ilmu sosial, ilmu humaniora dan ilmu alam. Ilmu agama dan “ilmu duniawi” harus konvergen.
Sayangnya lembaga pendidikan Islam terlalu lambat menyadari ketertinggalan ini. Tokoh pendidikan kita terlalu berpikir konservatif dan masih terjebak pada dikotomi antara pendidikan agama-pendidikan umum. Padahal dikotomi itu justru mematikan kreatifitas. Untunglah, dalam batas tertentu sebagian kecil yang berlatar pendidikan “sekuler” relatif lebih cepat menyadari kejumudan. Tidak heran, dewasa ini di perguruan tinggi umum diajarkan pula ekonomi Islam, sosiologi agama (Islam), psikologi Islam, antropologi agama (Islam) dan lainnya. 
Pada tahun 1980-an, cendekiawan Soedjatmoko sudah mewanti-wanti bangsa Indonesia memasuki abad 21. Dikatakan, pendidikan menjadi “tumpuan” harapan bangsa Indonesia untuk bersaing di kompetisi global. Ketika negara maju terus melakukan pembaruan terhadap sistem pendidikan mereka, maka ironis sekali melihat dunia pendidikan Indonesia tidak banyak melakukan terobosan, sekalipun kecil. Kualitas SDM yang dibutuhkan sejatinya adalah SDM yang punya kualifikasi dan visi global.  Secara personal, mantan Rektor Universitas PBB itu mengatakan, SDM masa depan, adalah SDM yang tidak hanya menguasai satu dua disiplin dan keahlian tertentu, melainkan beberapa bidang ilmu dan keahlian sekaligus.
Sekalipun ditujukan ke dunia pendidikan nasional, tetapi peringatan Koko (panggilan Soedjatmoko) di atas terasa sangat kontekstual dengan kondisi pendidikan Islam. Terhadap pendidikan nasional (sekuler) saja, sudah muncul keprihatinan yang mendalam, karena tidak ada terobosan yang begitu dahsyat setelah lebih 60 tahun merdeka. Apalagi terhadap pendidikan Islam. Padahal, ribuan bahkan jutaan SDM Indonesia kini dididik di lembaga pendidikan Islam dari tingkat sekolah dasar sampai pascasarjana.
Seperti dikutipkan di awal tulisan ini, tokoh nasionalis Bung Hatta juga punya pandangan menarik soal pendidikan Islam yang patut kita renungkan lagi. Ia mengutarakan nasehatnya malah sejak awal Republik, tetapi tidak pernah diaplikasikan secara serius. Sang proklamator mengatakan, agama hidup di masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mempunyai dinamika dan perubahan. Oleh sebab itu, para pendidik agama pun harus bisa menangkap dan tanggap terhadap “roh” perubahan, agar Islam senantiasa compatible dengan perkembangan masyarakat.
Masalahnya, sebagian lembaga pendidikan Islam masih “alergi” dengan filsafat, bahkan ilmu sosial lainnya yang dituding sebagai bentuk hegemoni Barat di bidang ilmu pengetahuan. Sayangnya, kalangan Islam sendiri tidak bisa melakukan dekonstruksi atas ilmu sosial Barat. Walau tidak seluruhnya, akan tetapi secara umum kondisi ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam Indonesia mengalami kejumudan serius. (CMM)

Tantangan Pendidikan Islam

Posted on

Wednesday, November 21, 2012