I. PENDAHULUAN

Novel Sayap-sayap Patah merupakan karya Kahlil Gibran yang fenomenal. Dikatakan demikian karena hingga saat ini, novel tersebut telah diterjemahkan kedalam dua puluh bahasa didunia, termasuk Indonesia. Para penikmat sastra pun mengakui bahwa novel ini memiliki keindahan bahasa maupun makna yang tinggi. Hal ini disebabkan setiap karya Gibran senantiasa mengandung nilai-nilai sosial kemasyarakatan, ketuhanan, kemanusiaan, moral dan yang menjadi ciri khasnya adalah pembahasan mengenai cinta.[1] Sehingga para pembacapun banyak mendapatkan pelajaran dan hikmah dari karya-karyanya termasuk pula novel Sayap-sayap Patah.

Sebagai novel fenomenal, selama ini penulis belum pernah menemukan tulisan-tulisan yang berisi kritik terhadapnya. Dengan menggunakan metode dekonstruksi, maka tulisan ini mencoba untuk sedikit mengkritisi novel tersebut yang selama ini dinilai memiliki nilai sastra yang tinggi.

II. DEFINISI KRITIK SASTRA DEKONSTRUKSI

Sebelum masuk lebih jauh pada ranah kritik terhadap novel Sayap-sayap Patah, maka akan lebih baik apabila dibahas terlebih dahulu mengenai definisi kritik sastra dekonstruksi.

Memaknai kritik sastra dekonstruksi bukanlah hal yang mudah. Banyak para sastrawan maupun kritikus sastra kesulitan untuk memaknai istilah ini. Bukan karena minimnya penguasaan materi, namun hal ini disebabkan karena istilah dekonstruksi yang memang tidak menghendaki untuk didefinisikan.[2] Maka dalam hal ini, akan lebih mudah mendefinisikan istilah kritik sastra daripada istilah dekonstruksi. Secara etimologis, kritik sastra dekonstruksi dapat kita pisahkan menjadi “kritik sastra” dan “dekonstruksi”. Kritik sastra adalah sebuah penilaian terhadap baik buruk karya sastra. Sedangkan dekonstruksi menurut Jacques Derrida adalah membongkar, artinya dekonstruksi berusaha membongkar bangunan makna yang telah ada dan kemudian membangun sebuah makna lain yang terbuka bagi setiap konsep pemaknaan. Dekonstruksi sebagai produk postmodernisme menolak pandangan bahwa bahasa memiliki makna yang pasti, tertentu dan konstan. Oleh karena itu dalam karya sastra pun dekonstruksi menolak konsep makna karya sastra yang baku, terstruktur dan utuh.[3]

Secara terpisah telah kita ketahui makna kritik sastra dan dekonstruksi. Maka definisi yang mungkin dapat kita ambil untuk mengkombinasikan keduanya, bahwa kritik sastra dekonstruksi adalah penilaian terhadap baik buruk karya sastra dengan menggunakan cara pandang atau metode dekonstruksi. Sehingga setiap karya sastra yang tidak sesuai dengan pendekatann ini dapat dikatakan sebagai sebuah karya sastra yang tidak memiliki nilai sastra. Namun apabila suatu karya sastra sesuai dengan pendekatan/cara pandang dekonstruksi maka dapat dikatakan bahwa karya sastra ini memiliki nilai sastra.

III. KRITIK SASTRA DEKONSTRUKSI TERHADAP NOVEL SAYAP-SAYAP PATAH

Sudut pandang yang akan dikritisi dengan pendekatan dekonstruksi adalah cara pandang dan pemikiran Gibran yang tertuang dalam novel Sayap-sayap Patah. Pandangan yang nampak mencolok adalah pernyataan sikap Gibran yang begitu membenci segala sesuatu yang merepresentasikan lembaga keagamaan khususnya pendeta. Ia memandang bahwa lembaga keagamaan hanyalah sebuah kamuflase yang justru dapat merugikan rakyat. Hal ini nampak dalam gambarannya terhadap pendeta Galib yang ia tokohkan dengan seseorang yang memiliki sifat serakah, tamak, egois dan haus kekuasaan. Dalam novel tersebut, pendeta Galib berperan sebagai tokoh antagonis yang menyebabkan putusnya jalinan kasih antara tokoh utama “aku” dan Selma Karamy, sehingga menyebabkan Selma Karamy meninggal dunia dan tokoh “aku” kehilangan cintanya. Bila diamati, disini terdapat sebuah pendikotomian antara baik dan buruk, susah dan senang, serta penindas dan yang ditindas. Atau dalam istilah dekonstruksi hal ini disebut dengan oposisi biner. Melalui oposisi biner ini, secara tidak langsung Gibran telah mengkonstruk pemikiran pembaca dan mencoba untuk membangun sebuah pemaknaan yang utuh melalui gambaran-gambarannya.

Padahal dekonstruksi menolak oposisi biner dan pemaknaan yang utuh dan baku. Oleh karena itulah, menurut penulis, novel Sayap-sayap Patah tidak sesuai dengan konsep dekonstruksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa Sayap-sayap Patah dalam sudut pandang dekonstruksi tidak memiliki nilai sastra.



[1] M. Ruslan Siddieq, Sayap-sayap Patah : Kahlil Gibran, dalam kata pengantar, Jakarta : Pustaka Jaya, 2005, cet. X, hal. 17

[2] Al-Fayyadl, Derrida, Jogjakarta : LKiS, 2005, hal. 25

[3] Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Jogja : Gajah Mada Univ Press, 2000, cet. iii, hal 37

KRITIK SASTRA DEKONSTRUKSI TERHADAP NOVEL SAYAP-SAYAP PATAH

Posted on

Thursday, July 24, 2008