Sekiranya sila kelima Pancasila "Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" berhasil dibawa turun ke bumi Nusantara,
rasanya tidak akan sebanyak ini darah anak bangsa harus tertumpah. Tragedi Poso
hanyalah salah satu ranting di pohon republik yang semakin mengalami kerapuhan
moral-kultural, terutama yang berlangsung sejak 1998. Persis bersamaan dengan
tahun mulai bergulirnya era reformasi yang telah menumbangkan pohon otoritarian
yang sebelumnya membunuh kemerdekaan warga selama sekian dasawarsa.
Sayang sekali, era reformasi gagal melakukan
konsolidasi kekuatan utamanya. Akibatnya, kongsi politik para elite hanya
seumur jagung. Egoisme dan sempit dada politisi adalah faktor penyebab
utamanya, sebuah warisan yang belum juga menghilang sejak masa pergerakan
nasional awal abad ke-20.
Darah anak bangsa tidak saja tumpah di Poso, melainkan juga di Sampit, Ambon,
dan Papua dalam rentang waktu hampir bersamaan. Jauh sebelum itu, perang
saudara juga telah melukai tubuh dan jiwa bangsa ini oleh berbagai sebab. Salah
satu penyebab utamanya adalah putusnya komunikasi di antara elite bangsa yang
tidak jarang sangat naif dalam pendekatan politiknya, baik pihak Jalarta maupun
pihak atau daerah yang melawan. Pemberontakan PKI di Madiun, DI/TII, RMS,
PRRI/Permesta, percobaan kudeta PKI 1965 dan reaksi keras terhadapnya, tragedi
Aceh, dan konflik-konflik lain dalam skala kecil, semuanya tidak saja
menumpahkan darah dalam jumlah ribuan, melainkan juga mewariskan dendam sejarah
yang sia-sia.
Saya sudah sampai pada kesimpulan bahwa penyebab utamanya adalah
ketidakpedulian elite politik terhadap sila kelima Pancasila khususnya dan terhadap
nilai-nilai Pancasila pada umumnya. Akibat ketidakpedulian ini, maka sila kedua
"Kemanusiaan yang adil dan beradab" telah diubah menjadi perilaku
"anti-kemanusiaan dan biadab".
Yang ajaib adalah kenyataan bahwa Pancasila masih saja dimuliakan dalam kata
dan tulisan, tetapi dikhianati dalam laku. Selama laku dan KATA (huruf besar)
masih berseteru, tidak mau bersahabat, maka selama itu pulalah tidak ada
jaminan di masa depan bahwa darah tidak akan tertumpah lagi di negeri kepulauan
yang permai ini. Saya semakin curiga bahwa pola pembangunan kita selama ini
tidak pernah secara kongkret dan serius mengacu pada nilai-nilai Pancasila itu.
Inilah pangkal celaka nasional itu.
Pengalaman empirik menunjukkan, filosofi negara ini sekadar ditempatkan di
pucuk, sementara akarnya di bumi digerogoti oleh laku korup dan menyimpang
tanpa rasa malu. Angka kemiskinan sekitar 40 juta yang sewaktu-waktu dapat
menjadi pemicu amuk massa adalah fakta telanjang tentang betapa tidak seriusnya
kita mengurus negeri ini. Dalam pada itu, kualitas politisi kita secara umum,
di pusat dan daerah, semakin memburuk dan membusuk dari hari ke hari. Mereka
kehilangan perspektif tentang tanggung jawabnya terhadap nasib bangsa dan
negara yang sarat dengan masalah ini. Tragedi Poso hanyalah sebuah bisul kecil
dari kompleksitas masalah yang tengah mendera kita semua.