------------------------------------------------------------------------
Pelaku tindak pidana curang selalu lolos dari jerat hukum. Karena memang,
tidak ada mekanisme sanksi dalam peraturan Pemilu. Kesengajaan atau
kekhilafan?
------------------------------------------------------------------------

Tidak ditindaklanjutinya kasus-kasus pelanggaran pemilu sebagaimana
dituntut massa pendukung PPP semakin membenar-kan anggapan, Pemilu Orde
Baru memang telah di-desain untuk sirkulasi elite kekuasaan. Jadi, "apa
yang bisa diharapkan rakyat dari Pemilu?" ujar Ketua Pengurus Harian PIJAR
Indonesia BY. Widyankris-tyoko alias Jay, yang secara pribadi maupun
lembaga tetap menyerukan boikot selama aturan perundang-undangannya seperti
itu.
Bagi Jay, Pemilu Orde Baru tidak lebih sekedar pesta legitimasi yang
memakan biaya politik, ekonomi dan sosial tinggi. Banyaknya korban jiwa
dalam upaya berebut "pepesan kosong" ,adalah kejadian khas Pemilu 1997 yang
secara etis tidak boleh begitu saja dilupakan. Apalagi menyiratkan rasa
puas hanya karena perolehan suara OPP yang didukungnya melibas target yang
dipatoknya.
Belum lagi kalau dikaitkan proses pencerdasan kehidupan bangsa yang blue
printnya sudah dirancang para Pendiri Republik. Jelas nonsen! Bahkan untuk
mengejar target pemenangan Golkar, anak-anak SMA dirusak moralnya dengan
intimidasi. Tidak lulus kalau tidak menusuk anu! "Kalau anak-anak SMA yang
mestinya diberi ruang bagi pertumbuhan daya kritisnya justru dijejali
intimidasi, indoktrinasi bahkan pembodohan, mau dikemanakan Republik ini 25
tahun men-datang?" gugat Dharmaningtyas, pengamat pendidikan yang pernah
mengajar SD terpencil di Gunungkidul, Yogyakarta. Akankah mereka harus
dikorbankan demi kepentingan sesaat? Semisal, supaya mbak Tutut mengangguk
puas di kaca televisi?
Maka, banyak ilmuwan (kecuali yang tukang-tukang seperti Amir Santosa dan
Affan Ghafar) memandang, Pemilu Orde Baru justru semakin mengukuhkan
kebo-brokan sistem yang diagung-agungkan penguasa sebagai demokrasi
Pancasila. Padahal sebagai ideologi terbuka, mestinya demokrasi Pancasila
membuka ruang politik bagi keinginan perubahan. "Demokrasi Pancasila tidak
identik dengan manajemen politik darurat perang!" tambah Deddy Sahputra,
ketua PIPHAM. Demokrasi Pancasila harusnya lebih membuka ruang dialog bagi
kelompok-kelompok politik, entah itu KNPI, Kosgoro, PRD, PUDI, Humanika,
HMI atau PIJAR. Sama sekali bukan segala-sesuatunya, istilah Harmoko,
mengikuti petunjuk bapak presiden.
Benar kata Jay. Aturan pemilu memang sudah dirancang sedemikian rupa,
sehing-ga memberi ruang yang sangat leluasa bagi pemilik otoritas kekuasaan
negara untuk menggunakan cara-caranya dalam mem-pertahankan kekuasaan.
Dengan begitu, pemilihan umum mengalami dispancial of goals (peralihan
sasaran), menjadi sekedar alat bagi penguasa untuk menegaskan
legitimasinya. Peraturan Pemilu, UU No.1 Tahun 1985 yang diperkuat UU No. 3
Tahun 1985 tentang Parpol dan Golkar, memang dibuat dalam perspektif
stabilitas dan pertumbuhan. Tujuannya jelas, meng-hambat terjadinya
pergantian kekuasaan lewat Pemilu. Kalau perlu, lobang-lobang yang
memungkinkan naik-nya tokoh-tokoh diluar inner-circle restu presiden
disumbat pembenaran ideo-logis. Semisal penafsiran tunggal demokrasi
Panca-sila dalam cara pandang integralistik yang tegas menolak partai
Oposisi.
Demokrasi tanpa opo-sisi? Jelas tidak mungkin. Fungsi oposisi dalam ka-mus
ilmu politik manapun sudah jelas: balanching of power. Penyeimbang
ke-kuatan. Oposisi dibangun, dalam konteks Islam, karena adanya kesadaran
bahwa manusia itu tidak sempurna dan bersifat relatif. Maka perlu kekuatan
kontrol untuk menjaga tetap tegaknya akhlaqul kharomah. Tanpa kontrol,
siapapun berpotensi menyekutukan Tuhan dengan dirinya. Karena memang, tak
seorangpun yang dirasa mampu atau berani mengingat-kannya disaat ia
menyimpang dari rambu-rambu Allah.
Dalam konteks Barat pun, demokrasi menjadi mungkin karena di dalamnya
ter-simpan pengandaian siapapun memiliki potensi berbuat jahat dan korup.
Tanpa kontrol dari oposisi dan pemberi mandat, siapapun berpeluang
mengangkangi keku-asaan secara absolut. Kekuasaan absolut itu sendiri,
sebagaimana kata Lord Acton, cenderung memutlakkan kelakuannya yang korup.
Lagi pula demokrasi hilang alasan ke-ada-annya jika pengalaman empirik
manusia dibangun lewat peradaban para malaikat, manakala hubungan antara
individu yang satu dan yang lain berjalan jenjem karta raharja, tidak
dinodai sifat-sifat saling ingin mendominasi diantara sesamanya.
Dalam Pemilu Orde baru, sengotot apapun Partai di luar kekuasaan
pemerintah meracik kepandaian merayu rakyat, mustahil dibuka peluang menang
pemilu. Banyak sumbatan-sumbatan yang mem-buatnya nyaris tidak mungkin
berkuasa. Sebelum bergerak sudah ada ranjau peng-hadang. Tidak lain UU No.
3/ Tahun 1985 yang menempatkan pembina politik memiliki otoritas besar
dalam menentukan merah hijaunya Partai. Megawati yang punya kharisma dan
pengaruh luar biasa di kalangan rakyat harus enyah dari singga-sana DPP
PDI. Berbagai trik dan rekayasa digelar, semua dirancang memang untuk
meniadakan datangnya ancaman yang mengganggu keinginannya terus berkuasa.
Di sini, Deliar Noer seperti halnya Jay, tegas menolak Pemilu yang
jelas-jelas melecehkan etika dan akal sehat Untuk itu eks-rektor IKIP
Jakarta yang pernah mengajar di Seskoad itu memandang Golput juga sebagai
pilihan politik. Tidak saja pilihan etis, melainkan juga ada lan-dasan
teologisnya. Sebab, kalau tetap ikut Pemilu berarti menyerahkan diri pada
kekuasaan Thogut. Berarti setuju kebatil-an. Saat sekarang ini, ulama mana
sih yang punya keberanian moral untuk menegur kekuasaan yang sudah begitu
absolut itu?
Padahal, lanjut Deliar, dalam pemilihan Lurah, Golput itu diakui. Kalau
dia calon tunggal, harus berani berhadapan dengan bumbung kosong. Kalau
kalah proses pemilihannya diulang. Kalaupun terpilih dia juga harus
hati-hati, karena dengan dihitungnya suara golput lurah itu bisa
intropeksi. Oh ada sekian sebenarnya yang tidak setuju dengan saya. Pendiri
Forum Pemurnian Kedaulatan Rakyat (FPKR) ini juga setuju dengan pandangan,
sistem Pemilu Orde Baru hanya menyisakan satu fungsi: alat legitimasi
kekuasaan. Fungsi lain nggak ada lagi. Penyaluran aspirasi buntu. Hasrat
perubahan menghadapi ken-dala. "Nah, sekarang kuncinya, bagaimana sebagian
rakyat yang menginginkan perubahan benar-benar melakukan upaya itu!"
tegasnya.
Raibnya fungsi pemilu yang menurut AS. Hikam sebagai sarana bagi rakyat
mewujudkan kedaulatannya, ujar Sekjen KIPP Mulyana W. Kusumah, erat berkait
dengan dipersempitnya ruang politik yang seharusnya menjadi hak otonomi
rakyat. Pelarangan Mega Bintang , dianggap oleh Mulyana yang juga aktif di
PBHI, sebagai upaya represi terhadap daya kreativitas masyarakat.
Pelarangan itu kenyataannya dianggap sepi oleh massa. Kendati aparat
keamanan sudah telanjur diberi instruksi agar melarang simbol-simbol Mega
Bintang. Potensi konflik masyarakat akar rumput ini, meminjam istilah Amien
Rais, ibarat rumput kering disiram api, memer-ciklah!
Analisa ini mungkin cocok untuk merekam situasi Jakarta. Sebelum Mega
Bintang dilarang, kampanye PPP aman-aman saja. Setelah adanya pelarangan
itu kerusuhan lekas menjalar, hampir merata di seluruh perkampungan
Jakarta. Di situ terjadi akumulasi ketidakpuasan antara rakyat (yang
mengira) pemilu Orde baru mampu memberinya perubahan berhadap-an tembok
anti perubahan yang dijelmakan dalam personifikasi pendukung Golkar
(termasuk di dalamnya aparat keamanan). Terbentuknya musuh riil dalam
solidarity making itu selanjutnya meluas menjadi isu kesenjangan sosial
yang acap kali bermuat-an SARA. Maka, trend kerusuhan saat ini biasanya
mengarah pada gedung-gedung instansi pemerintah, kantor Koramil, Polsek,
pertokoan dan bank-bank.
"Mereka marah dan kecewa. Mulanya semapat berharap, lewat pemilu akan
ter-jadi perubahan. Ternyata dicurangi oleh sistem," ujar Jay menutup
obrolan....

Pengalaman Pancasila

Posted on

Thursday, May 15, 2008