Mukadimah

Makalah yang kami presetasikan sekarang ini, hanyalah usaha kecil dan ala kadarnya untuk mencoba memaparkan kembali satu episode sejarah kelam umat Islam. Dan usaha kecil ini pun dibenturkan dengan berbagai keterbatasan, sehingga “rekaman” sejarah yang ingin kami putar dari nol sampai masa sekarang, banyak mengalami kesulitan. Dan kesulitan ini pun kami rasakan ketika ingin menganalisa sekaligus mengkritisi fenomena yang ada sebagai imbas dari “sejarah” tersebut.

Mu’tazilah adalah tema yang diangkat kali ini. Bagaimana peranan ideologi rasionalitas ini dalam pentas sejarah perjalanan ummat Islam, sejauh mana peranan ideologi ini dalam menghantarkan ummat Islam ka dalam ruang sejarah yang kelam, apa bahaya yang di usungnya, dan bagaimana peranan kita sebagai ummat Islam — yang komitmen secara totalitas terhadap pentunjuk Allah yang terlembagakan dalam Al-Quran dan As-Sunnah– menyikapi, mengkritik sekaligus menggugat ideologi rasionalitas tersebut.

Kiranya makalah ini masih sangat jauh dari keobjektifitasan dan kesempurnaan untuk memaparkan semuanya, namun mudah-mudahan sedikit memberi pijakan kepada ummat Islam untuk terus menerus memperbaiki sejarah dengan mengambil “ibrah” dari “kecelakaan sejarah” yang terjadi dalam rentetan sejarah ummat Islam.

Sebab timbulnya firqah-firqah di dunia Islam

Perbedaan di antara umat kita, dalam berbagai bentuk dan skalanya, memang mempunyai akar historis yang panjang, selain karena ia memang dimungkinkan oleh berbagai muatan ajaran Islam yang lebih terbuka.

Secara historis, perbedaan-perbedaan dalam pandangan-pandangan akidah telah melahirkan berbagai mazhab. Ada Ahlussunnah Wal Jamaah yang terbesar, ada Syi’ah dengan berbagai aliran lagi di dalamnya, ada aliran Mu’tazilah yang juga punya pendukung di negeri kita, ada Khawarij dan lain sebagainya.

Perbedaan tersebut dalam tubuh ummat mulai tampak sejak meninggalnya Rasulullah Saw dalam peristiwa pemilihan khalifah pengganti beliau. Perbedaan ini tidak sampai memecah belah umat saat itu dan mampu diselesaikan dengan damai dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi Saw. begitu juga, proses peralihan kekhalifahan dari Abu Bakar kepada Umar, gelombang perpecahan dalam tubuh umat Islam mampu dituntaskan dengan rapi.

Perpecahan ini mulai menggejala pada masa kepemimpinan Utsman, terbukti lahirnya firqah-firqah baru dalam tubuh Islam. Ini terjadi setelah timbulnya fitnah Abdullah bin Saba’ dan terbunuhnya Utsman ra. Para pembunuh ‘Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan ‘Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut: Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh ‘Utsman. Sebaliknya, para pembunuh ‘Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan ‘Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan ‘Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.

Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada ‘Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, dalam “Peristiwa Shiffin” di situ ‘Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan “de jure”-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap ‘Utsman, kaum Khawarij juga memandang ‘Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah, juga Amr ibn al-’Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu’awiyah mengalahkan Ali dalam “Peristiwa Shiffin” tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka, dan ‘Amr ibn al-’Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka ‘Amr, karena rupanya mirip).

Bila Khawarij merupakan kelompok yang kontra terhadap Ali, maka firqah kedua yang muncul kepermukaan yaitu Rhawafidl (Syi’ah) justru kebalikan Khawarij. Mereka adalah pendukung Ali dan mendaulatkan bahwa Ali lah yang berhak menyandang gelar khalifah setelah Nabi Muhammad Saw. bukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka semua ini bahkan dikafirkan oleh Syi’ah.

Setelah itu muncul Murji’ah pada akhir kurun pertama (akhir masa sahabat) tepatnya pada masa pemerintahan Ibnu Zubair dan Abdul Malik. Kemudian pada awal kurun kedua (masa tabi’in) yakni pada masa akhir pemerintahan Bani Umayyah muncul Jahmiyah, Musyabihah, dan Mumatstsilah yang diusung Ja’di bin Dirham dan Jahm bin Shafwan, penganut faham Jabariah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan.

Kemunculan berikutnya adalah Mu’tazilah yang mempunyai ciri khas ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah kebalikan dengan apa yang diusung Jahm bin Shafwan. Setelahnya, ada As’ariyah dan Maturidiah.

Bila dirunut, sebenarnya pangkal perpecahan ini awalnya bermuatan politis (terutama Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah). Namun, dalam perkembangannya mengembang biak menjadi aliran (sekte) yang membawa ideologi baru bahkan dengan fiqh baru pula. Sehingga perbedaannya menyentil aspek akidah dan muatannya kini bukan lagi politik an sich.

Penyebab utama perbedaan pada aspek akidah adalah: Pertama, telah keluarnya dari rel utama Allah Swt. manhaj Islam yang hak dalam hal ini Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua, Percampuran budaya asing yang mewarnai kemurnian ajaran Islam. Ini terjadi akibat sebagian muslim memberi kesempatan budaya tersebut berkembang dalam masyarakat Islam yang awalnya sekedar keragaman budaya namun pada akhirnya menyentil ajaran Islam yang prinsipil.1 Ketiga, Tidak adanya figur pemimpin panutan yang mampu tampil di atas semua perbedaan yang ada.

Mu’tazilah Dalam Lintas Sejarah

1. Definisi Mu’tazilah

a. Secara Etimologi

Mu’tazilah adalah kata dalam bahasa arab yang asalnya yaitu ‘aza atau i’tazala, kata-kata ini diulang dalam Al-quran sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i : menjauhi sesuatu. Seperti dalam satu redaksi ayat :

فان اعتزلوكم فلم يقاتلوكم وأ لقوا اليكم السلم فما جعل الله لكم عليهم سبيلا (النساء 90)

Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. 4:9)2

b. Secara Terminologi Para Ulama

Mu’tazilah adalah firqoh Islamiyyah (aliran dalam Islam) yang muncul pada masa akhir dinastii umayyah dan tumbuh pesat pada masa dinasti abbasiyyah. Mereka berpegang pada kekuatan rasionalitas an sich dalam memahami aqidah Islam (al-Aq‎‎îdah al-Islamiyyah), hal itu lebih sebagai bukti dari pengaruh berbagai “filsafat-filsafat import” yang menyimpang dari aqidah ahlu sunnah wal jama’ah.3 filsafat-filsafat import itu di antaranya adalah filsafat Yunani dalam diskursus dzat dan sifat, filasafat Hindu, dan aqidah Yahudi dan Nashrani.4

Sedangkan sebagian ulama, mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang berbeda pendapat dengan umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Waashil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry. 5

Kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi, didapatkan adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat Islam, khususnya Ahli Sunnah, dan bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus, sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus.2. Perkembangannya.

Berbicara tentang awal mula sejarah Muitazilah, orang akan selalu merujuk pada episode diskusi Hasan al-Basri (w.110 H/728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan para muridnya di seputar tema muslim yes, muslim no yang baru dalam taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah termasuk orang dalam (in group) atau luar (out group). Maka terhadap pertanyaan yang terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu adalah jawaban-jawaban sebagai berikut:

Pertama, Dengan melakukan dosa besar, seorang muslim telah terpental dari kelompoknya (komunitas), alias menjadi “kafir”, dan karena itu—sesuai dengan hukum riddah—halal ditumpahkan darahnya. Jawaban ini diajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan khawarij.

Kedua, Mengatakan bahwa muslim yang melakukan dosa besar masih tergolong muslim, adapun dalam kaitannya dengan dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di akhirat nanti. Jawaban inilah yang agaknya dicondongi umat Islam yang disebut sebagai kelompok murjiah.

Hasan al-Basri, selaku pemimpin dan tokoh yang merasa harus menjaga keutuhan umat, berada dalam arus kecenderungan umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada “di dalam” (minna) atau “di luar” (minhum) harus benar-benar jelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya yang melawan arus tadi (bukan muslim dan bukan kafir), dengan nada menyesal Hasan berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I‘tazala’anna!. Kata i’tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu’tazilah (yang hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada Washil bin Atha dan segenap pengikutnya.6

Mu’tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakkan di atas pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad kedua hijriyah, tepatnya tahun 105 atau 110 H di akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di kota bashroh di bawah pimpinan Waashil bin Atho’ Al Ghozaal. Kelompok atau sekte ini berkembang dan terpengaruh oleh bermacam-macam aliran pemikiran yang berkembang di masa itu, sehingga didapatkan padanya kebanyakan pendapat mereka mengambil dari pendapat aliran pemikiran Jahmiyah, yang kemudian berkembang dari kota Bashroh yang merupakan tempat tinggalnya Al Hasan Al Bashry, lalu menyebar dan merebak ke kota Kufah dan Baghdad. Akan tetapi, pada masa ini mu’tazilah menghadapi tekanan yang sangat berat dari para pemimpin Dinasti Umayah yang membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat terhambat penyebarannya, sehingga hal itu membuat mereka sangat membenci Dinasti Umayah karena penentangan mereka terhadap mazhab (aliran) mu’tazilah dan i’tikad mereka dalam permasalahan qadar bahkan mereka pun tidak menyukai dan tidak meridhoi seorangpun dari pemimpin Dinasti Umayah kecuali Yazid bin Al Waalid bin Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 126 H ) karena dia mengikuti dan memeluk mazhab mereka.

Dalam hal ini berkata Al Mas’udy :”Yazid bin Al Waali telah bermazhab dengan mazhab Mu’tazilah dan penapat mereka tentang lima pokok (ajaran mereka) yaitu At Tauhid, Al Adl, Al Wa’iid, Al Asma wal Ahkam -yaitu pendapat Manzilah baina Al Manzilatain -dan amar ma’ruf nahi mungkar” dan berkata lagi:”(sehinga Mu’tazilah mengedepankan Yazid bin Al Waalid dalam sisi keagamaan dari Umar bin Abdul Aziz”.

Permusuhan dan perseteruan antara Dinasti Umayah dengan Mu’tazilah ini berlangsung terus menerus dengan keras sampai jatuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah dan tegaknya kekuasaan Dinasti Abbasiyyah. Kemudian, bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, berkembanglah Mu’tazilah dengan mulainya mereka mengirim para dai dan delegasi-delegasi ke seluruh negeri Islam untuk mendakwahkan mazhab dan i’tikad mereka kepada kaum muslimin dan diantara yang memegang peran 6 besar dan penting dalam hal ini adalah Waashil bin Atho’. Dan kesempatan ini mereka peroleh karena mazhab mereka dengan syiar dan manhajnya memberikan dukungan yang besar dalam mengokohkan dan menguatkan kekuasaan Dinasti Abbasiyyah khususnya pada zaman Al Ma’mun yang condong mengikut aqidah mereka, apalagi ditambah dengan persetujuan Al Ma’mun terhadap pendapat mereka tentang Al Quran itu Makhluk sampai-sampai Al Ma’mun mengerahkan seluruh kekuatan bersenjatanya untuk memaksa manusia untuk mengikuti dan meyakini kebenaran pendapat tersebut, lalu beliau mengirimkan mandat kepada para pembantunya di Baghdad pada tahun 218 H untuk menguji para hakim, Muhadditsin dan seluruh Ulama dengan pendapat bahwa Al Qur’an adalah makhluk, demikian juga beliau memerintahkan para hakim untuk tidak menerima persaksian orang yang tidak berpendapat dengan pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sangat besar. Diantara para ulama yang mendapatkan ujian dan cobaan ini adalah Al imam Ahmad bin Hambal -dan kisah beliau ini sangat terkenal-, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqiedah dan pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk.

Mu’tazilah terus mendapat perlindungan dan bantuan dari para penguasa Dinasti Abbasiyyah dari zaman Al Ma’mun sampai zaman Al Mutawakil dan pada zaman tersebut sekte mu’tazilah dijadikan mazhab dan aqidah resmi negara, satu faktor yang membuat mereka mampu menyebarkan kekuasaan mereka dan mampu menekan setiap orang yang menyelisihi mereka, lalu mereka menjadikan padang sebagai ganti dari hujjah dan dalil. Maka berkembanglah aliran ini di negeri-negeri muslimin dengan bantuan dari sebagian pemimpin-pemimpin Bani Abasyah.

Kemudian mereka terpacah menjadi dua cabang:

1. Cabang Bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Waashil bin Atho’, Amr bin Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al ‘Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syahaam, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa’i, Abu Hasyim Al Jubaa’i dan yang lain-lainnya.

2. Cabang Baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu’tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja’far bin Harb, Ja’far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al Balkhy Al Ka’by dan yang lain-lainnya.

Sebenarnya faktor yang mendasar yang mendorong mereka sibuk dan memperdalam ilmu kalam adalah untuk membalas hujjah dengan hujjah dan untuk menghancurkan hujjah-hujjah para musuh Islam serta untuk membantah semua tuduhan dan kebohongan mereka sehingga akhirnya mereka berlebih-lebihan dalam mengutamakan dan mengedepankan ilmu ini atas semua ilmu yang selainnya,lalu mereka menjadikannya sebagai satu-satunya cara untuk menentukan adanya Allah dan Rububiyah-Nya, hujah-hujah kenabian dan untuk mengenal sunnah dari bid’ah, sebagimana yang dikatakan Al Jaahidz: “dan sesuatu apakah yang lebih agung dari segala sesuatu, seandainya tidak karena kedudukannya, tidaklah dapat ditetapkan kerububiyahan-Robb, tidak dapat ditegakkan hujjah-hujah kenabian dan tidak dapat dipisahkan antara hujjah dengan syubhat, dalil dengan apa yang terbayangkan dalam bentuk dalil. Dengannya dapat dikenal Al Jamaah dari Al Firqoh (kelompok yang menyempal) dan sunnah dari bid’ah serta keanehan dari yang masyhur”.

Walaupun mu’tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami kehidupan akal sejak abad ke dua sampai ke lima hijriyah, akan tetapi tidak mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran dan kegagalan dalam bidang tersebut. Hal ini tampaknya terjadi karena mereka tidak mengambil sumber manhaj mereka dari Al Qur’an dan As Sunnah, bahkan mereka mendasarinya dengan bersandar kepada akal semata yang telah dirusak oleh pemikran filsafat yunani dan bermacam-macam aliran pemikiran.

3. Sebab Penamaannya.

Para Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama Mu’tazilah menjadi beberapa pendapat:

Pertama, penamaan mu’tazilah hasil dari diskursus tentang masalah aqiedah ke-agamaan, seperti menghukumi pelaku dosa besar, tentang masalah qodar dalam artian, apakah seorang hamba berkuasa atas perbuatannya atau tidak. Dan pengusung pemikiran ini menamai mu’tazilah dengan beberapa sebab :

1. bahwasannya mereka meninggalkan kaum muslimin dengan perkataan manjilah baina manjilataini (satu diantara dua tempat).

2. Mereka menamai mu’tazilah setelah hengkangnyah Wasil bin atha dari halaqoh hasan Bashari dan membentuk halaqoh khusus. Tentang hal ini, Hasan Bashari berkata “Wasil telah meninggalkan kita” bahwasanya mereka berkata wajib meninggalkan pelaku dosa besar dan membaikotnya.

Kedua, penamaan mu’tazilah lahir dari pergulatan politik di mana sekelompok orang-orang dari Syi’ah Ali meninggalkan Hasan ketika Mu’awiyah melepaskan jabatan (sebagai raja)8

Adapun sejarawan Mu’tazilah (Qadli Abdu al-Jabar al-hamdani) berpendapat bahwa mu’tazilah bukan madzhab baru atau firqah baru, akan tetapi dia adalah pelanjut risalah Rasulullah saw dan shahabat-shahabatnya. Penamaan tersebut, disebabkan mereka “menjauhi kejahatan”. Seperti dalam firman Allah9: واعتزلكم وما تدعون

Akar dan Produk Pemikiran Mu’tazilah

Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.

Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari taqdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah Pemikiran mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.

Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassarah fi’ladyân wa’lmadzâhib wa’lahzâb al-mu’âshirah11bahwa pada awalnya sekte mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:

1. pemikiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.

2. Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan—mu’min dan kafir—(manzilatun baina’lmanzilataini)

Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.

Sejalan dengan keberagaman akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh sekte mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.

Dalam bukunya, “al-farqu baina’lfirâq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte12. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh sub sekte tersebut masih ada lagi dua sub sekte mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah: al-khâbithiyah dan al-himâriyyah.

Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dari duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah13:

Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.

pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “diri”-Nya.

Pemikiran tentang ke-baru-an (hâdits) kalâmu’lLah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalâmu’lLah adalah makhluk-Nya.

Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta prilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas perbuatannya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan mu’tazilah disebut qodariyah oleh sebagian kaum muslimin.

Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah diantara dua manzilah—mu’min dan kafir—(manzilatun baina’lmanzilataini). Inilah alasan mereka disebut mu’tazilah.

Pemikiran bahwa segala sesuatu perbutan manusia yang tidak diperintahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah seuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.

Inilah sebagian produk pokok pemikiran mu’tazilah yang cukup mewakili identitas mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran. seluruh pemikiran mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sakte yang paling menguasai ilmu kalam.

Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam ‘Abdull’ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:

“Agama adalah kepunyaan ahli Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional)”14

Selanjutnya, dari enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh sub sekte mu’tazilah di atas mereka merangkum kembali menjadi lima dasar15 (ushûl) pemikiran yang menjadi trade mark mereka. Kelima dasar pemikiran tersebut adalah: al-tauhîd, al-‘adl (kedilan Allah), al-wa’d wa’lwa’îd (janji dan ancaman Allah), al-manzilatu baina’lmanzilataini, al-amru bilma’rûf wa al-nahyu ‘ani’lmunkar.

Secara ringkas lima dasar pemikiran mu’tazilah ini dijelaskan dalam mausu’ah WAMY16, berikut kutipannya dengan sedikit perubahan:

(1) Al-Tauhîd

Mereka meyakini bahwa Allah disucikan dari perumpamaan dan permisalan (laisa kamitslihi syai-un) dan tidak ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya serta tidak berlaku pada-Nya apa yang berlaku pada manusia. Ini adalah faham yang benar, akan tetapi dari sini mereka menghasilkan konklusi yang batil: kemustahilan melihat Allah sebagai konsekwensi dari penegasian sifat-sifat (yang menyerupai manusia); dan keyakinan bahwa al-Quran adalah makhluk sebagai konsekwensi dari penegasian Allah memiliki sifat kalam.

(2) Al’adl (keadilan Allah)

Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi hamba-hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nyadengan kekuatan (qudrah) yang Allah jadikan buat mereka. Dan bahwasanya Allah tidak memerintah kecuali kepada yang diinginkan-Nya dan tidak melarang kecuali dari yang dibenci-Nya. Dan Allah adalah penolong bagi terlaksananya kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak bertanggungjawab atas terjadinya kemungkaran yang dilarang-Nya.

(3) Al-wa’d wa’lwa’îd (janji dan ancaman Allah)

Maksud mereka dengan janji dan ancaman Allah adalah bahwa Allah akan memberi pahala atas kebaikan yang diperbuat manusia dan memberi balasan atas kejelekan yang dilakukannya, dan (secara mutlak) tidak akan mengampuni pendosa besar jika tidak bertobat.

(4). Al-manzilatu baina’lmanzilataini

Maksud mereka adalah bahwa pendosa besar berada di antara dua kedudukan, ia tidak berada dalam kedudukan mu’min tidak juga kafir.

(5) Al-amru bilma’rûf wa al-nahyu ‘ani’lmunkar

Mereka menetapkan bahwa hal ini (al-amru bilma’rûf wa al-nahyu ‘ani’lmunkar) adalah kewajiban seluruh mu’minin sebagai bentuk penyebaran dakwah Islam; penyampaian hidayah bagi mereka yang tersesat; dan bimbingan bagi mereka yang menyimpang. Semuanya dilakukan sesuai kemampuan, bagi yang mampu dengan penjelasan maka dengan penjelasan, yang mampu dengan pedang maka dengan pedang.

Dari pemaparan tentang pemikiran Mu’tazilah di atas, terlihat bahwa akal adalah satu-satunya sandaran pemikiran mereka. Oleh karena itu, terkenallah bahwa mu’tazilah adalah pengusung teologi rasionalitas. Teologi rasionaltas yang di usung kaum mu’tazilah tersebut bercirikan :

Pertama, Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.

Kedua, Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran

Ketiga, Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.

Teologi rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M. 10

Titik Lemah Ideologi Mu’tazilah

Jika mu’tazilah, dengan teologi rasionalitasnya, dikategorikan sekte “pemuja” akal. apakah dengan itu berarti mereka adalah golongan berakal?

Jika kita masih memegang teguh al Quran, maka al Quran telah menyiapkan jawabannya. Firman Allah dalam Q.S. Ali Imran: 7 sebagai berikut:

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”

Ayat di atas menegaskan bahwa terdapat dua jenis isi kandungan al Quran: pertama, ayat-ayat yang muhkamât[1]. Kedua, ayat-ayat yang mutasyâbihât [2]. Kemudian menjelaskan bahwa di antara manusia ada yang selalu condong pada kesesatan yaitu mereka yang selalu mengikuti ayat-ayat mutasyâbihât dan mencari-cari ta’wilnya, padahal hanya Allah-lah yang mengetahui ta’wilnya.

Lalu kalau kita melihat produk pemikiran mu’tazilah yang telah dipaparkan di atas, maka kita dengan mudah akan mengetahui bahwa apa yang banyak mereka bahas adalah ayat-ayat mutasyâbihât. Ambil saja contohnya tentang sifat-sifat Allah yang Allah sendiri (dalam al Quran) tidak menerangkannya secara detil (tafshîl). Lalu, dengan kecondongannya kepada kesesatan, mereka mencari-cari ta’wil yang seluruhnya disandarkan pada akal rasional. Akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan yang sesat (sesuai kecondongan mereka) dengan mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat azali kalâm, bashar, dan lain sebagainya. Lebih sesat lagi mereka mengatakan dan menyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh mata manusia bahkan Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya! sungguh kesesatan yang nyata.

Selanjutnya, karena kepuasannya menggunkan akal, mereka pun menggunakannya dalam segala permasalahan hingga akhirnya menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran, menyingkirkan al Quran yang sebelumnya telah dilemahkan kedudukannya dengan mengatakan bahwa al Quran adalah makhluk Allah yang berperspektif lelah dan memiliki kekurangan; dan melupakan sunnah (juga) sebagai sumber hukum. Dari realita tersebut, pantaslah jika mu’tazilah kita golongkan ke dalam kelompok yang hatinya condong pada kesesatan seperti disitir dalam Ali Imran ayat tujuh di atas.

Sementara sebagai negasi dari kelompok yang hatinya condong pada kesesatan, Allah meyebutkan orang-orang yang ilmunya mendalam (al râskhûna fi’l’ilmi) dan menjelaskan pendirian mereka dihadapan ayat-ayat mutasyâbihât, mereka berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Mereka itulah para Ulul Albab (orang yang berakal), satu-satunya golongan yang bisa mengambil pelajaran.

Jika al Quran mengatakan bahwa orang yang berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Adalah orang yang mendalam ilmunya dan dinamainya dengan ulul albab (orang yang berakal), lalu dimanakan mu’tazilah berada jika bukan di golongan (yang cenderung pada) kesesatan?

Secara logika sehat (rasional) sendiri, ideologi mu’tazilah sudah terpatahkan. Coba kita buka cakrawala kita dengan bebas menembus seluruh alam semesta, bayangkan ribuan bintang, planet, meteorid dan berbagai benda angkasa yang ada di semesta; lalu kembali lagi ke bumi yang usianya sudah bermilyar-milyar tahun, bayangkan gunung dengan segala karakteristik dan isinya, bayangakan hutan dengan binatang-binatang yang mengisinya dengan berbagaimazam jenis dan bentuknya, kemudian saksikan laut yang lebih luas dari daratan yang sangat menyimpan rahasia yang tidak banyak diketahui. Adakah, dalam sejarah, seseorang dengan kekuatan akalnya mampu mengetahui seluruh benda makhluk Allah itu?

Jika makhluk-makhluk-Nya saja tidak mampu difikirkan, apa jaminannya akal akan mampu memikirkan Allah, Sang Pencipta! Sungguh kesombongan yang nyata yang mengisi rongga hati manusia yang ngotot ingin memikirkan dan merasionalisasikan Allah. Mereka adalah manusia yang men-tuhan-kan hawa nafsu, nafsu intelektual mereka. Tentang hal ini Allah berfirman:

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[3] dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. al Jatsiyah,45;23)

Ideologi Mu’tazilah, masih laku?

Sangat Sulit Rasanya bila kita harus menjawab tuntas pertanyaan di atas, apakah ideolodi mu’tazilah akan tetap laku atau sebaliknya, mengingat, di satu sisi ideologi rasioalitas Mu’tazilah ditentang habis-habisan oleh mayoritas ummat Islam, seperti kita tahu dalam perjalanan kesejarahannya, rasionalitas mu’tazilah selalu dilawan oleh golongan dari al-Asy’ariyyah. Namun disisi lain banyak sekali wacana pemikiran Islam yang mengusung ideologi rasionalitas tersebut.

Di samping fenomena di atas, adalah keterbatasan devisi kami dalam litelatur, analisa dan wawasan yang menyebabkan tidak bisa memberi jawaban yang tuntas. Barangkali poin terakhir ini yang menarik untuk kita angkat dalam ruang diskusi mengingat, ragam peta pemikiran ke agamaan yang ada, khususnya di Indonesia adalah bukti masih bercokol kuatnya pengaruh ideologi rasionalitas Mu’tazilah dalam pemikiran Islam modern.

Terlepas dari itu, kita sebagai ummat Islam yang menyerahkan diri secara totalitas, termasuk dalam memberi porsi kepada akal. Islam melindungi dan memberi ruang kebebasan untuk berpikir, tapi yang menjadi persoalan sejauh mana perlindungan dan kebebasan berpikir itu diberikan, apakah manusia boleh berpikir sebebas-bebasnya tanpa mengenal batas, sehingga boleh memikirkan dunia yang bukan dunainya (makrokosmos), apakah manusia boleh memikirkan tentang dzat Allah, hari akhirat dan merapkan paradigmanya pada dunia metafisika, sehingga ia terperosok pada kekeliruan seperti yang dialami para filisuf Yunani14

Mu'tazilah

Posted on

Tuesday, May 13, 2008