LUDRUK
Kidung ludruk terdiri atas dua bentuk, yaitu syair dan pantun,
serta cerita ludruk ditengarai bersumber dari legenda, sejarah, mite, babad,
dan cerita-cerita keseharian di masyarakat.Ludruk lahir sebagai sebuah kesenian
anti kemapanan dalam suatu struktur masyarakat Jawa Timur atau jombang feodal
dengan corak kekuasaan yang scandalous dan korup. Dalam dominasi corak
kekuasaan tersebut, alih-alih melakukan gerakan perlawanan frontal di titik
ekstrem, ataupun bersikap masokistik di sisi yang lain, masyarakat lantas
menemukan bentuk sindiran (pasemon) sebagai pintu artikulasi yang populer dalam
hal kritik dan kontrol kebijakan penguasa saat itu yang dipraktikkan dengan
ludruk sebagai medianya, dengan parikan sebagai pisau yang secara tajam
mblejeti kebejatan-kebejatan moral sosial politik penguasa.
Sungguhpun
tidak sanggup merubah praktik-praktik skandal dalam kekuasaan secara
menyeluruh, Ludruk dianggap layak sebagai representasi kebudayaan dalam
sosiologi masyarakat yang tertindas oleh budaya feodal. Karenanya, masyarakat
yang menganggap segala emosi dan dirinya tercermin dalam ludruk menjadikan
kesenian ini sebagai tontonan wajib untuk mengisi ruang refleksi dan
kontemplasi diri, sekaligus sebagai media partisipasi publik dalam melakukan
gerakan protes dan kritik sosial terhadap penguasa dengan etika dan estetika
yang terukur.
Sejak
jaman dulu, kata Rendra dalam buku “Mempertimbangkan Tradisi” (1984), belum
pernah ada raja yang melarang Ludruk atau dagelan, meskipun dalam Ludruk dan
dagelan apa saja boleh diucapkan: yang kotor, yang kasar, segala macam
kritikan, dan segala macam ejekan. Tidak pernah ada raja dalam wayang yang
menjadi marah karena kritikan yang kasar dari Petruk. Demikian pula tak pernah
ada lurah, bupati, atau raja yang menjadi marah karena dikritik dengan pedas di
dalam Ludruk atau dagelan. Sebab, kalau mereka marah karena kejadian semacam
itu, maka rakyat menganggapnya mempunyai roso-risi digerakkan oleh rasa bersalah, serta bersifat
daksura, dan diam-diam rakyat akan menilainya rendah, dan lama-lama mungkin
saja membencinya dalam hati. Ludruk mampu menjadikan pertunjukannya sebagai
arena pengadilan rakyat simbolik untuk mem-persona non grata-kan figur penguasa
yang dianggap tidak memihak masyarakat.
Seorang
seniman ludruk asal Malang memberikan penafsiran tentang adanya Ngremo dalam
ludruk yang telah dimodernisasi. “Perwatakan ksatria dalam Tari Ngremo mungkin
bisa diartikan seperti itu. Akan tetapi, yang sebenarnya ingin diambil oleh
seniman ludruk adalah nilai-nilai patriotisme, bukan bungkusnya.”
Kebudayaan
kelas agamawan turut memainkan dominasinya ketika diharamkan tampilnya
perempuan dalam pertunjukan ludruk. Dalam periode ini, seluruh pemain ludruk
adalah laki-laki, dengan diharamkannya perempuan tampil dalam pertunjukan di
depan publik. Peran perempuan pun dimainkan oleh laki-laki. Dari sini kemudian
lahir kelompok waria sebagai pemain ludruk, sesuatu yang sesungguhnya juga
dihindari oleh kaum agamawan.
Adegan
Tari Ngremo juga sebagai tarian pembuka dalam ludruk yang mengetengahkan kisah
kepahlawanan yang dikemas sebagai gambaran keberanian seorang pangeran
(bangsawan). Penarinya menggunakan jenis kostum Sawunggaling gaya Suroboyoan
yang terdiri dari bagian atas hitam yang menghadirkan pakaian abad XVIII, celana
bludru hitam dengan hiasan emas dan batik. Di pinggang sang penari ada sebuah
sabuk dan keris. Di paha kanan ada selendang menggantung sampai ke mata kaki.
Tarian itu diiringi dengan musik gamelan dalam suatu gending yang terdiri dari
bonang, saron, gambang, gender, slenthem, siter, seruling, ketuk, kenong,
kempul dan gong serta irama slendro, yang kesemuanya merupakan ciri-ciri khas
kesenian produk lingkungan keraton.
Ludruk
biasanya dimainkan ketika suatu daerah mengadakan acara seperti ulang tahun desa,
atau sebagian warga yang mempunyai hajat kemudian menampilkan ludruk sebagai
pertunjukan seperti hajatan pernikahan sunatan dan sebagai ucapan syukur karena
hajatan yang diadakan berjalan dengan baik.