Slogan
pahlawan tanpa tanda jasa senantiasa melekat pada profesi guru. Hal ini
didasarkan pada pengabdiannya yang begitu tinggi dan tulus dalam dunia
pendidikan. Tidak hanya itu, sikap kearifan, kedisiplinan, kejujuran,
ketulusan, kesopanan serta sebagai sosok panutan menjadikan profesi satu ini
berbeda dengan yang lain. Lantaran tanggung jawab dari profesi guru tidak
berhenti pada selesai ia mengajar, melainkan keberhasilan siswa dalam
menangkap, memahami, mempraktekan serta mengamalkan ilmu yang diterima dalam
kehidupan sehari-hari baik langsung maupun tak langsung. Hal ini membuat citra
seorang guru di mata masyarakat selalu berada di tempat yang lebih baik dan mulia.
Djamin (1999) mengemukakan citara guru mempunyai arti sebagai suatu penilaian
yang baik dan terhormat terhadap keseluruhan penampilan yang merupakan sosok
pengembang profesi ideal dalam lingkup fungsi, peran dan kinerja.
Citra guru ini tercermin melalui :
Ø
Keunggulan
mengajar
Ø
Memiliki
hubungan yang harmonis dengan peserta didik, dan
Ø Memiliki hubungan yang harmonis pula terhadap sesame teman
seprofesi dan pihak lain baik dalam sikap maupun kemampuan professional.
Dari sudut
pandang peserta didik, citra guru ideal adalah seseorang yang senantiasa member
motivasi belajar yang mempunyai sifat-sifat keteladanan. Penuh kasih saying,
serta mampu mengajar di dalam suasana yang menyenangkan.
A.
Martabat Guru dalam Masyarakat Tradisional (Pramodern)
Di dalam bahasa snsekerta, guru berarti yang dihormati. Rasa hormat
ini sampai kini masih hidup di tengah masyarakat tradisional/pedesaan. Mereka
masih menaruh rasa hormat dan status social yang tinggi terhadap profesi guru.
Di kepulauan sangihe, misalnya, masyarakat menyebut guru pria dengan panggilan
tuan, lengkapnya tuan guru, suatu panggilan yang penuh rasa kagum dan hormat
terhadap profesi guru.
Masyarakat pedesaan umumnya menganggap profesi guru sebagai profesi
orang suci (saint) yang mampu member pencerahan dan dapat mengembangkan potensi
yang tersimpan di dalam diri siswa. Selain sebagian besar masyarakat
tradisional memiliki mitos yang kuat bahwa guru adalah profesi yang tidak
pernah mengeluh dengan gaji yang minim, profesi yang dapat dilakukan oleh siapa
saja dan profesi yang bangga dengan gelar pahlawan tanpa tanda jasa.
Dalam pandangan masyarakat tradisional, guru dianggap professional
jika anak sudah dapat membaca, menulis dan berhitung, atau anak mendapat nilai
tinggi, naik kelas dan lulus ujian.
B.
Martabat Guru dalam Masyarakat Modern
Dalam pandangan masyarakat modern, guru belum menjadi profesi yang
professional jika hanya mampu membuat murid membaca, menulis dan berhitung,
atau mendapat nilai tinggi, naik kelas, dan lulus ujian. Masyarakat modern menganggap
kompetensi guru belum lengkap jika hanya dilihat dari keahlian dan ketrampilan
yang dimiliki melainkan juga dari orientasi guru terhadap perubahan san
inovasi.
Bagi masyarakat modern, eksistensi guru yang mandiri, kreatif, dan
inovatif merupakan salah satu aspek penting untuk membangun kehidupan bangsa.
Banyak ahli berpendapat bahwa keberhasilan Negara Asia Timur (Cina, Korsel dan
Jepang) muncul sebagai Negara industry baru karena didukung oleh penduduk/SDM
terdidik dalam jumlah yang memadai hasil sentuhan manusiawi guru.
Salah satu bangsa modern yang mengahargai profesi guru adalah
bangsa jepang. Bangsa jepang menyadari bahwa guru yang bermutu merupakan kunci
keberhasilan pembangunan. She no on wa yama yori mo takai, umi yori mo
fukai. Yang berarti jasa guru lebih tinggi dari gunung yang paling tinggi,
lebih dalam dari laut paling dalam. Hal ini merupakan ungkapan penghargaan
bangsa jepang terhadap profesi guru.
Guru pada sejumlah Negara maju sangat dihargai karena guru secara
spesifik,
1.
Memiliki
kecakapan dan kemampuan untuk memimpin dan mengelola pendidikan.
2.
Memiliki
ketajaman pemahaman dan kecakapan intelektual, cerdas emosional dan social
untuk membangun pendidikan yang bermutu.
3.
Memiliki
perencanaan yang matang, bijaksana, kontekstual dan efektif untuk membangan
humanware (SDM) yang unggul. Bermartabat dan memiliki daya saing. Keunggulan
mereka adalah terus maju untuk mencapai yang terbaik dan memperbaiki yang
terpuruk. Mereka secara berkelanjutan (sustainable) terus meningkatkan mutu
diri dari guru biasa ke guru yang baik dan terus berupaya meningkatkan ke guru
yang lebih baik dan akhirnya menjadi guru yang terbaik, yang mampu member
inspirasi, ahli dalam materi, memiliki moral yang tinggi dan menjadi teladan
yang baik bagi siswa.
Di Negara kita,
guru yang memiliki keahlian spesialisasi harus diakui masih langka. Walaupun
sudah sejak puluhan tahun disiapkan, namun hasilnya masih belum Nampak secara
nyata. Ini disebabkan karena masih cukup banyak guru yang belum memiliki konsep
diri yang baik, tidak tepat menyandang predikat sebagai guru, dan mengajar mata
pelajaran yang tidak sesuai dengan keahliannya (mismatch). Semua terjadi karena
kemandirian guru belum Nampak secara nyata, yaitu sebagian guru belum mampu
melihat konsep dirinya (self consept), ide dirinya (self idea). Dan realita
dirinya (self reality). Tipe guru seperti ini mustahil dapat menciptakan
suasana kegiatan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM).
Guru adalah
bagian dari kesadaran sejarah pendidikan di dunia. Citra guru berkembang dan
berubah sesuai dengan perkembangan dan perubahan konsep dan persepsi manusia
terhadap pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Dalam hal ini profesi manusia
terhadap pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Dalam hal ini profesi guru pada
mulanya dikonsep sebagai kemampuan member dan mengembangkan pengetahuan peserta
didik. Namun, beberapa dasawarsa terakhir konsep, persepsi, dan penilaian
terhadap profesi guru mulai bergeser.
Hal itu selain
karena perubahan pandangan manusia masyarakat terhadap integritas seseorang
yang berkaitan dengan produktivitas ekonomisnya, juga karena perkembangan yang
cukup radikal di bidang pengetahuan dan teknologi, terutama bidang informasi
dan komunikasi, yang kemudian mendorong pengembangan media belajar dan paradigm
teknologi pendidikan. Dalam perkembangan berikutnya, sekaligus sebagai
biasanya, guru mulai mengalami dilemma eksistensial. Artinya, penguasaan ilmu
pengetahuan tidak lagi menjadi hegemoni guru, tetapi menyebar seluas
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti dunia penerbitan, buku,
majalah, Koran, serta media elektronik lainnya. Untuk itu, posisi krusial guru
perlu dijernihkan tatkala kita hendak merumuskan kembali pendidikan yang lebih
memajukan masa depan generasi berikutnya.
Dengan demikian,
para guru dituntut tampil lebih professional, lebih tinggi ilmu pengetahuannya
dan lebih cekatan dalam penguasaan teknologi komunikasi dan informasi. Artinya,
guru mau tidak mau dituntut harus terus meningkatkan kecakapan dan
pengetahuannya selangkah ke depan lebih dari pengetahuan masyarakat dan anak
didiknya. Dalam kehidupan bermasyarakat pun guru diharapkan lebih bermoral dan
berakhlak daripada masyarakat kebanyakan, tetapi disitulah muncul problem
tatkala para guru tidak memiliki kemampuan materi untuk memiliki sehala akses
dan jaringan informasi seperti TV, buku-buku, majalah, dan Koran. Guru-guru
memiliki gaji dan tunjangan yang jauh dari cukup untuk meningkatkan profesinya
sekaligus memperkaya informasi mengenai perkembangan pengetahuan dan berbagai
dinamika kehidupan modern. Sehingga, rasanya sangat sulit di era modern ini
guru dapat tampil lebih professional, memiliki tanggung jawab moral profesi
sebagai konsekuensi etisnya.
C.
Guru
Abad 21 adalah Guru dengan Profesionalitas Tinggi
Mamasuki abad 21, tugas guru tidak akan semakin ringan. Menurut
wardiman Djojonegoro dalam kertas kerjanya yang disampaikan pada Seminar
Nasional Wawasan Profesi Guru Tahun 2000. Icmi Orwil Jawa Timur di Surabaya tanggal 21 Desember 1996, bangsa
kita menyiapkan diri untuk memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
Cirri SDM yang berkualitas tersebut adalah :
a.
Memiliki
kemampuan dalam menguasai keahlian dalam suatu bidang yang berkaitan dengan
iptek
b.
Mampu
bekerja secara professional dengan orientasi mutu dan keunggulan
c.
Dapat
menghasilkan karya-karya unggul yang mampu bersaing secara global sebagai hasil
dari keahlian dan profesionalitasnya.
Makagianser (1990) menyebutkan bahwa untuk menghadapi era
globalisasi, salah satu factor yang harus diperhatikan dalam bidang pendidikan
adalah ketidakpastian, untuk itu seseorang harus memiliki empat kemampuan,
yaitu kemampuan antisipasi, kemampuan mengerti dan mengatasi masalah, kemampuan
mengakomodasi, dan kemampuan melakukan reorientasi.
Tilaar (1998) menyatakan bahwa masyarakat millennium ketiga nanti
mempunyai karakteristik masyarakat teknologi, masyarakat terbuka dan masyarakat
madani yang secara keseluruhan akan berpengaruh pada visi, misi, dan tujuan
pendidikan. Pertumbuhan teknologi akan mengubah bentuk dan cara hidup manusia
yang sama sekali akan berlainan dengan kehidupan manusia dewasa ini. Teknologi
dapat memajukan kehidupan manusia tetapi juga dia akan mampu menghancurkan
kebudayaan manusia itu sendiri. Kemajuan teknologi pula yang akan membuka dunia
sekaan tanpa batas, baik geografis, social maupun budaya. Saling
keterpengaruhan antara angsa yang satu dengan bangsa yang lain akan menjadi
cirri utama masyarakat terbuka. Secara optimistic, masyarakat yang terbuka
tersebut akan bermuara pada lahirnya masyarakat madani, masyarakat yang
berkembangan baik kemampuan intelektualnya, maupun aspek-aspek kehidupan
lainnya serta tanggung jawab.
Sesungguhnya, dengan tantangan yang dihadapi ke depan adalah
globalisasi dengan dominasi teknologi dan informasi yang sangat kuat, kemampuan
dasar yang mesti similiki bangsa ini tidak boleh hanya sebatas penguasaan
kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Harus jauh melampaui tiga hal
tersebut.
Menghadapi tantangan demikian, diperlukan guru yang benar-benar
professional. Tilaar (1988) memberikan empat cirri utama agar seorang guru
terkelompok ke dalam guru yang professional. Masing-masing adalah :
Ø Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang
Ø Memiliki ketrampilan untuk membangkitkan minat peserta didik
Ø Memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat dan
Ø Sikap profesionalnya berkembang secara berkesinambungan.
Menurut Djojonegoro (1996) guru yang bermutu memiliki paling tidak
empat criteria utama, yaitu kemampuan professional, upaya professional, waktu
yang dicurahkan untuk kegiatan professional dan kesesuaian antara keahlian dan
pekerjaannya. Kemampuan professional meliputi kemampuan intelegensia, sikap dan
prestasi kerjanya. Upaya professional adalah upaya seorang guru untuk
mentansformasikan kemampuan professional yang dimilikinya ke dalam tindakan
mendidik dan mengajar secara nyata. Waktu yang dicurahkan untuk kegiatan
professional menunjukkan intensitas waktu dari seorang guru yang
dikonsentrasikan untuk tugas-tugas profesinya. Guru yang bermutu ialah mereka
yang dapat membelajarkan siswa secara tuntas, benar dan berhasil. Untuk itu
guru harus menguasai keahliannya, baik dalam disiplin ilmu pengetahuan maupun
metodologi mengajarnya.
Selanjutnya Samani (1996) mengemukakan empat prasyarat agar seorang
guru dapat professional. Masing-masing adalah kemampuan guru
mengolah/menyiasati kurikulu, kemampuan guru mengaikan materi kurikulum dengan
lingkungan, kemampuan guru memotivasi
siswa untuk belajar sendiri dan kemampuan guru untuk mengintegrasikan berbagai
bidang studi/mata pelajaran yang menjadi kesatuan konsep yang utuh. Masih
terkait dengan harapan-harapan yang digayutkan di pundak setiap guru, H.
Muhammad Suya, Ketua Umum Pengurus Besar PGRI mengemukakan ada Sembilan
karakteristik martabat guru yang diideal. Masing-masing adalah guru yang :
Ø Memiliki semangat juang yang tinggi disertai kualitas keimanan dan
ketaqwaan yang mantap
Ø Mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan padanan dengan
tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek
Ø Mampu belajar dan bekerja sama dengan profesi lain
Ø Memiliki etos kerja yang kuat
Ø Memiliki kejelasan dan kepastian pengembangan jenjang karir
Ø Berjiwa profesionalitas tinggi
Ø Memiliki kesejahteraan lahir dan batin, material dan nonmaterial
Ø Memiliki wawasan masa depan dan
Ø Mampu melaksanakan fungsi dan peranannya secara terpadu.