HUBUNGAN NEGARA DAN
AGAMA
A.
Pendahuluan
Hal amat penting dari
pembicaraan negara adalah hubungan negara dengan agama. Wacana ini
mendiskusikan bagaimana posisi agama
dalam konteks negara modern (nation
states). Sampai hari ini wacana hubungan negara dan agama masih terus
berlangsung secara dinamis.
Dalam konteks sejarah
di Indonesia sering terjadi berseberangan politik antara agama dan negara.
Dalam hal ini sering pula terjadi konflik yang berkepanjangan dan saling
menjatuhkan satu sama lain. Akan tetapi keduanya akan saling membutuhkan dan
saling ketergantungan.
Dalam ranah politik, di Indonesia negara memandang Islam
sebagai suatu gerakan politik yang sangat potensial karena tanpa Islam bisa
jadi mustahil adanya kemerdekaan di Indonesia dan tanpa Islam politik di
Indonesia akan sulit untuk berjalan mulus.
B.
Konsep Relasi Agama Dalam Islam
Hubungan agama dan
negara dalam konteks dunia Islam menjadi perdebatan yang intensif di kalangan
pakar Muslim hingga kini. Perdebatan Islam dan negara berangkat dari pandangan
dominan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh, yang mengatur
semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari pandangan Islam
sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat
konsep pemisahan agama dan politik. Argumentasi ini sering dikaitkan dengan
posisi Nabi Muhammad di Madinah. Di kota hijrah ini nabi berperan ganda,
sebagai seorang pemimpin agama sekaligus sebagai kepala negara yang memimpin
sebuah sistem pemerintahan awal Islam yang kebanyakan pakar dinilai sangat
modern di masanya.
Posisi ganda Nabi
Muhammad di Madinah disikapi beragam oleh kalangan ahli. Secara garis besar
perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah Islam identik dengan negara atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan konsep
yang tegas tentang bentuk negara, mengiingat sepeninggal Nabi Muhammad tidak
ada seorangpun yang menggantikan peran
ganda beliau, sebagai pemimpin dunia yang sekular dan si penerima wahyu
sekaligus.
Menyikapi realitas
perdebatan tersebut, Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa posisi nabi saat itu sebagai rasul yang bertugas
menyampaikan ajaran (Alkitab) bukan sebagai penguasa. Menurut Taimiyah kalaupun ada pemerintah itu hanya sebagai alat untuk
menyampaikan agama, kekuasaan itu bukan lah agama itu sendiri. Dengan ungkapan
lain politik atau negara dalam Islam hanyalah alat bagi agama, bukan eksistensi
dari agama Islam. Pendapat ibnu Taimiyah
dipertegas dalam alquran (57:25): “sesunggguhnya
kami telah mengutus rasul-rasul kami yang disertai keterangan-keterangan, dan
kami turunkan bersama mereka kitab dan timbangan agar manusia berlaku adil dan
kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat bagi
manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan Rasulnya yang
goib dari dari pada-Nya”.
Dari ayat ini Ibnu
Taimiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan
“pedang” penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan
dengan pedang menjadi suatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu
bukanlah agama itu sendiri. Politik tidak lain hanyalah sebatas alat untuk
mencapai tujuan-tujuan luhur agama.
Mengelaborasi pandangan
Ibnu Taimiyah di atas Ahmad Syafi’i Ma’arif menjelaskan bahwa istilah daulah
yang berarti negara tidak dijumpai dalam al-Qur’an. Istilah Daulah memang ada
dalam al-Qur’an pada surat al-Hasyr ayat 7, tetapi ia tidak bermakna negara.
Istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran pergantian
tangan dari kekayaan.
Pandangan sejenis
pernah juga dikemukakan oleh beberapa modernis Mesir antara lain Ali Abdul
Raziq dan Mohammad Husein Haikal. Menurut Haikal prinsip-prinsip dasar
kehidupan kemasyarakatan yang diberikan al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ada yang
langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
dalam Islam tidak terdapat suatu sistem pemerintah yang baku. Umat Islam bebas
menganut sistem pemerintahan apapun asalkan sistem tersebut menjamin persamaan
antara warga negaranya, baik hak maupun kewajiban dan persamaan di depan hukum
dan pelaksanaan urusan negara
diselenggarakan atas dasar musyawarah dengan berpegang kepada tata nilai moral
dan etika yang diajarkan Islam.
Hubungan Islam dan negara modern secara teoritis
diklarifikasikan ke dalam tiga pandangan: integralistik, simbiotik, dan
sekularistik.
1.
Paradigma Integralistik
Paradidma integralistik
hampir sama dengan pandangan negara teokrasi Islam. Paradigma ini menganut
paham dan konsep agama negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, keduanya merupakan lembaga yang menyatu (integrated). Paham ini juga memberi penegasan bahwa negara
merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini
menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan
politik atau negara.
Dalam pergulatan Islam
dan negara modern pola hubungan integratif ini kemudian melahirkan konsep
tentang agama negara yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan
menggunakan prinsip dan hukum keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma
integralistik identik dengan paham Islam ad
-din wa ad-daulah yang bersumber hukum positifnya adalah hukum Islam.
Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh negara kerajaan Saudi
Arabia dan kelompok Islam syi’ah di Iran. Kelompok pecinta Ali Ra. Ini
menggunakan istilah daulah yang banyak dirujuk kaum sunni.
2.
Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma
simbiotik, hubungan agama dan negara saling membutuhkan dan bersifat timbal
balik (symbiosis mutualita). Dalam
konteks ini agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan
mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama
karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan
spiritualitas warga negaranya.
Paradigma ini bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah
tentang negara sebagai alat agama di atas. Dalam kerangka ini Ibnu Taimiyah bahwa adanya
kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena
tanpa kekuasaan negara maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu
Taimiyah tersebut melegimitasi bahwa antara agama dan negara merupakan dua
identitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karena itu, konstitusi
yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari kontrak sosial (social contract) tetapi bisa diwarnai
oleh hukum agama. Dengan kata lain, agama tidak mendominasi kehidupan berbangsa
dan bernegara.model pemerintahan negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan
kepada paradigma ini.
3.
Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik
beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Agama dan
negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan
masing-masing. Sehingga keberadaannya harus dipisahkan dann tidak boleh satu sama
lain melakukan intervensi. Negara adalah urusan publik, sementara agama
merupakan wilayah pribadi masing-masing individu negara.
Berdasar pada pemahaman
yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum dari
kesepakatan manusia melalui social
contarct yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (syari’ah). Konsep sekularistik dapat
ditelusuri pada pandangan Ali Abdul raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah
kenabian Rasulullah SAW. Pun tidak ditemukan keinginan nabi Muhammad untuk mendirikan
negara Islam. Negara turki sekular kreasi Kemal Attaturk dapat digolongkan ke
dalam paradigma ini.
C.
Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
Dalam Islam, hubungan
agama dengan negara menjadi perdepatan yang cukup panjang di antara para pakar
Islam hingga kini. Bahkan, menurut Azra (Azra, 1996:1), perdebatan itu telah
berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga abad ini. Lebih
lanjut Azra mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan yang agak
canggung antara Islam sebagai agama (din)
dan negara ini (daulah). Berbagai
eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara din dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim, dan
eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam.
Masalah
hubungan Islam dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk
dibahas, bukan karena Islam agama yang mayoritas penganutnya, akan tetapi lebih
pada kompleknya persoalan yang muncul. Untuk menghubungkan hal ini, maka secara
umum dapat digolongkan dalam 2 bagian, yakni hubungan yang bersifat antagonistik dan hubungan yang bersifat
akomodatif. Hubungan antagonistik merupakan hubungan yang mencirikan adanya
ketegangan antara negara dengan Islam sebagai sebuah agama. Sedangkan hubungan akomodatif lebih dipahami dimana negara dan agama saling
mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik (M.
Aziz et.al., 1993: 105)
1.
Hubungan Negara Yang Bersifat Antagonistik
Eksistensi
Islam politik pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca revolusi pernah
dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara.
Persepsi tersebut membuat negara berimplikasi untuk menghalangi gerakan
ideologis politik Islam, lalu kemudian berawal dari persepsi tersebut , bukan
saja para pemimpin dan aktifis politik Islam gagal untuk menjadikan Islam
sebagai ideologi dan atau agama negara pada 1945 dan dekade 1950-an, tetapi
juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik ”minoritas” atau “out sider”. Lebih dari itu, bahkan
politik Islam ducurigai sebagai anti ideologi negara pancasila (Bahtiar Effendy,
2001:4).
Lebih
lanjut Bahtiar mengatakan bahwa di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat
dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal
hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan
kebangsaan, ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang
kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka. Upaya untuk menciptakan sebuah
sintesis yang memungkinkan antara Islam dan negara bergulir terus hingga
periode kemerdekaan dan pasca revolusi.
Pada saat ini, teme-tema politik Islam lebih bergulir pada ideologi dan simbol
– sesuatu yang mencari klimaksnya pada perdebatan di konstituante pada paruh
kedua dasa warsa 1950-an – dari pada substansi. Pergulatan ini telah
memunculkan mitos tertentu sejauh yang menyangkut pemikiran dan politik Islam.
Meskipun
ada yang mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal 70-an,
kecenderungan llegalistik, simbolistik, itu masih berkembang pada sebagian
aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru. Antara lain seperti ini karena alasan-alasan
seperti ini, negara memberlakukan kebijakan the
politik of containment agar wacana politik Islam yang formalistik ,
legalistik dan simbolistik itu tidak berkembang lebih lanjut.
Setelah
pemerintahan Orde Baru memantapkan kekuasaannya, terjadi kontrol yang
berlebihan yang diterapkan oleh Orde Baru terhadap kekuatan politik Islam,
terutama pada kelompok radikal yang dikawatirkan semakin militan dan menandingi
eksistensi negara.
Realitas
empirik inilah yang kemudian menjelaskan bahwa hubungan agama dengan negara
pada masa ini dikenal dengan antagonistik,
dimana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan yang potensial
dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa
itu memiliki ghirah yang tinggi untuk
mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan.
2.
Hubungan Negara Yang Bersifat Akomodatif
Gejala
menurunnya ketegangan hubungan antara Islam dan negara mulai terlihat pada
pertengahan tahun 1980-an. Hal ini dibuktikan dengan semakin besarnya peluang
umat Islam dalam mengembagkan politiknya serta munculnya kebijakan-kebijakan
yang positif bagi umat Islam. Kebijakan-kebijakan tersebut berspektrum luas,
ada yang bersifat struktural dan kultural (Bahtiar Effendy, 2001:35).
Kecenderungan
akomodasi negara terhadap Islam juga ditengarai dengan adanya kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan
kecerendungan politik politik umat Islam
sendiri (M. Aziz et. El., 1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa Islam adalah
kekuatan politik yang potensial, yang olehnya karenanya negara lebih memilih
akomodasi terhadap Islam, karena jika negara menempatkan Islam sebagai out sider negara, maka konflik akan
sulit dihindari yang pada akhirnya akan membawa imbas pada Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Munculnya
sikap akomodatif negara terhadap Islam lebih disebabkan oleh adanya
kecenderungan bahwa umat Islam Indonesia dinilai telah semakin memahami kebijakan
negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunnggal
pancasila. Selain itu munculnya kebijakan negara terhadap Islam juga menjadi
bagian yang penting dalam memahami hubungan agama dan negara di awal 1980-an,
misalnya pengesahan RUU Pendidikan Nasional pengesahan RUU Peradilan Agama,
munculnya ICMI serta muncul Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang secara
massif membangun ratusan masjid di hampir seuruh Indonesia.
Pertanyaan
yang mungkin muncul adalah mengapa negara memberikan akomodasi terhadap Islam
setelah sekian lama terjadi ketegangan antara Islam dan negara? Untuk menjawab
ini, Affan Gaffar menjelaskan beberapa alasan mengapa negara melakukan
akomodasi terhadap Islam. Pertama, dari kacamata pemerintah,
Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat di abaikan yang pada akhirnya kalau
diletakkan pada posisi pinggiran akan menimbulkan masalah politik yang cukup
rumit. Oleh karena itu, sudah sewajarnya diakomodasi, sehingga kemungkinan
konflik dapat diredam lebih dini. Kedua, dikalangan pemerintah sendiri
terdapat figur yang tidak terlalu fobi terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar
keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya, misalnya saja
Emil Salim, B.J. Habibie, Akbar Tandjung dan lain sebagainya. Mereka tentu saja
berperan dalam membentuk sikap politik pemerintah paling tidak untuk tidak
menjauhi Islam. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap dan orientasi politik
di kalangan Islam itu sendiri (M. Imam Aziz et. Al., 1993: 105).
Lain
halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bahtiar. Ia mengatakan bahwa ada
dua alasan yang mendasari negara melakukan akomodasi terhadap Islam. Pertama,
selama dua puluh lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi
sosial-ekonomi politik yang berarti. Hal
ini disebabkan oleh pembangunan ekonomi dan meluasnya akses ke pendidikan
tinggi modern. Mereka mentransformasikan ke dalam entitas level menengah, baik
secara sosial, ekonomi maupun politik. Kedua, adanya transformasi pemikiran
dan tingkah politik generasi baru Islam. Umat
Islam telah mengalami transformasi
intelektual dan aktivisme yang
semula bersifat legalistik formalistik menjadi lebih substansialistik (Bahtiar
Effendy, 2001:39-40).
D.
Kesimpulan
Hubungan
antara agama dan negara di Indonesia bisa dikatakan saling ada ketergantungan
dan saling membutuhkan. Hal ini disebabkan karena asas dari Indonesia sendiri
adalah warga negara yang beragama dan selalu ada upaya untuk mewujudkan untuk
menjadi masyarakat madani, dimana warga negara dituntut untuk menjunjumg tinggi
nilai-nilai moral.
Negara
Indonesia adalah suatu negara yang mana di dalamnya terdapat keanekaragaman
baik suku, ras, budaya, maupun agama. Kemudian dikemas dalam satu kesatuan
yaitu didasari oleh pancasila. Agama di Indonesia, utamanya Islam sangat dibutuhkan
kerjasamanya untuk membangun suatu negara yang makmur, aman, damai dan sentosa.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz,
Imam M., et, all (ed.) Agama, Demokrasi
dan Keadilan Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993, cet. Ke-1.
Azra,
Azyumardi. Menuju Masyarakat Madani. Bandung:
PT.
Remaja Rosdakarya, 1999.
Azra,
azyumardi. Pendidikan Demokrasi Dan
Demokratisasi Di Dunia Muslim
Makalah
Seminar Nasional Civic Education di PT Mataram, 2002.
Effendy,
Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam:
Pertautan Agama, Negara Dan Demokrasi,
Yogyakarta: Galang
Press, 2001, cet.ke-1.
Tim
ICCE, Demokrasi, Hak Asasi Manusia Dan
Masyarakat Madani,
Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2003.
Tim penyusun MKD. Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan),
Surabaya: IAIN
Sunan Ampel Press, 2011.